REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pada 1171 M, al-Adid selaku raja terakhir Dinasti Fathimiyah meninggal dunia. Kematiannya menandakan akhir riwayat wangsa Syiah tersebut di Mesir.
Selanjutnya, Shalahuddin al-Ayyubi naik menjadi pemimpin di negeri delta Sungai Nil tersebut. Kala itu, ia masih mewakili kekuasaan Dinasti Zankiyah yang berpusat di Syam.
Tiga tahun berselang, Nuruddin Mahmud wafat. Peran dan pengaruh Zankiyah sejak saat itu kian memudar di Mesir.
Sebaliknya, Shalahuddin semakin dihormati sebagai pemimpin yang karismatik. Ketika itulah, dirinya mengeklaim gelar “Sultan Mesir.” Di kemudian hari, wilayah kekuasaannya terus meluas hingga sebagian Syam dan Hijaz.
Sejak era Shalahuddin, Kairo menggantikan Fustat sebagai pusat aktivitas ekonomi dan sosial masyarakat Mesir. Pada masa pemerintahannya, Saladin mendirikan kawasan benteng di kaki Bukit Mokattam, sebelah tenggara kota tersebut. Pada 1183, Benteng Kairo—demikian namanya—selesai dibangun. Sang sultan memanfaatkan fasilitas itu untuk menahan serangan Pasukan Salib yang masih mengancam Mesir. Jauh sesudah Dinasti Saladin tiada, hingga pertengahan abad ke-19 M kompleks itu terus dipakai sebagai sebuah bangunan pemerintahan.
View this post on Instagram
Pasca-Shalahuddin
Pada 1193 M, pahlawan Islam dalam sejarah Perang Salib itu wafat. Sepeninggalan Shalahuddin, dinasti yang didirikannya mulai pudar. Sebagai penggantinya, naiklah para jenderal yang dahulu diangkat Saladin untuk mengisi posisi di pemerintahan dan militer. Mereka dahulunya adalah kaum budak sehingga periode ini disebut sebagai zaman Mamalik atau Mamluk (harfiah: ‘budak’) di Mesir.