Senin 03 Feb 2025 17:43 WIB

Dirjen Migas: Potensi Penyaluran LPG Ilegal ada di Tingkat Pengecer

Pemerintah tengah menertibkan penyaluran LPG ilegal di tingkat pengecer.

Rep: Frederikus Dominggus Bata / Red: Friska Yolandha
Warga antre membeli gas elpiji subsidi 3 kilogram saat operasi pasar pangan subsidi di Pasar Tani, Banda Aceh, Aceh, Ahad (27/10/24). Pemerintah Aceh bekerjasama dengan PT. Pertamina (persero) menggelar operasi pasar gas elpiji subsidi 3 kilogram dengan harga penetapan pemerintah Rp18.000 per tabung untuk memenuhi kebutuhan masyarakat kurang mampu.
Foto: ANTARA FOTO/Ampelsa
Warga antre membeli gas elpiji subsidi 3 kilogram saat operasi pasar pangan subsidi di Pasar Tani, Banda Aceh, Aceh, Ahad (27/10/24). Pemerintah Aceh bekerjasama dengan PT. Pertamina (persero) menggelar operasi pasar gas elpiji subsidi 3 kilogram dengan harga penetapan pemerintah Rp18.000 per tabung untuk memenuhi kebutuhan masyarakat kurang mampu.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Migas) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Achmad Muchtasyar mengatakan potensi terjadi kesalahan dalam penyaluran liquefied petroleum gas (LPG) 3 kilogram (KG) terjadi di tingkat pengecer. Keadaan demikian sedang ditertibkan pemerintah.

Baca Juga

Gambaran besarnya, pemerintah ingin semua subsidi benar-benar tepat sasaran. Itu termasuk gas melon. Ada regulasi terbaru mengharuskan LPG 3 kg disalurkan lewat pangkalan resmi. Keadaan demikian sempat memicu berbagai situasi di masyarakat.

"Pengecer itu apa sih? Sebetulnya ilegal itu. Di situlah pintu masuk LPG itu tidak tepat sasaran," kata Achmad, di kantor Kementerian ESDM, di Jakarta, Senin (3/2/2025).

Ia menjelaskan maksud dari pernyataannya. Artinya jika dijual bebas di warung yang belum memenuhi kualifikasi pangkalan resmi, siapa saja bisa mengaksesnya. Orang yang tidak masuk golongan penerima subsidi dapat membeli di sana.

Persoalan lainnya, yakni harga. Pemerintah sudah mengatur harga LPG 3 kg dengan standar tertentu. Misalnya di Jakarta antara Rp 18 ribu - Rp 20 ribu. Pengecer bisa saja menaikkannya karena tak ada yang mengawasi.

"Harga itu ujung-ujungnya di pengecer berapa sih? Ada yang sampai Rp 30.000, enggak sesuai seharusnya," ujar Achmad.

Ia memahami, masih banyak pembenahan di lapangan. Misalnya masyarakat beradaptasi dengan kebiasaan baru. Selama ini beli di warung biasa, kini harus mencari pangkalan resmi.

Bisa jadi, ada ongkos lebih untuk transportasi. Tapi kasus seperti ini, menurut Achmad lebih banyak terjadi di daerah terpencil. Kalau di kota besar, relatif bisa teratasi, karena banyak pangkalan resminya.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement