Jumat 07 Feb 2025 14:14 WIB

Kemenkes di Gaza Desak Aksi Global Saat Gaza Hadapi Bencana Medis

Israel terus menghalangi bantuan kemanusiaan.

Rep: Fuji E Permana/ Red: Muhammad Hafil
Ribuan pengungsi Palestina tiba di Jalur Gaza utara menyusul mundurnya tentara Israel, Senin, 27 Januari 2025.
Foto: AP Photo/Jehad Alshrafi
Ribuan pengungsi Palestina tiba di Jalur Gaza utara menyusul mundurnya tentara Israel, Senin, 27 Januari 2025.

REPUBLIKA.CO.ID,YERUSALEM -- Dalam sebuah wawancara dengan Al-Jazeera, Direktur Jenderal Kementerian Kesehatan (Kemenkes) di Jalur Gaza, Dr. Munir al-Bursh mendesak agar tekanan internasional terhadap Israel ditingkatkan untuk mengizinkan tim medis masuk ke Gaza utara dan membantu menyelamatkan nyawa warga. 

Al-Bursh menyoroti dampak buruk dari penghancuran rumah sakit oleh Israel, yang telah menyebabkan puluhan ribu orang wafat.

Baca Juga

Al-Bursh menjelaskan bahwa Israel sang penjajah terus menunda-nunda ketentuan kemanusiaan yang digariskan dalam perjanjian gencatan senjata, terutama masuknya pasokan medis penting, obat-obatan, peralatan, dan generator listrik ke Gaza, dikutip dari halaman Palestine Chronicle, Jumat (7/2/2025)

Al-Bursh menekankan bahwa penundaan pemindahan rumah sakit lapangan dan peralatan medis dari Gaza selatan ke utara memperparah krisis kesehatan, sebab layanan medis hampir berhenti.

Al-Bursh secara khusus menyerukan masuknya delegasi medis, mencatat bahwa tim-tim ini akan sangat penting dalam melakukan operasi khusus yang sangat dibutuhkan selama perang.

Dia menekankan bahwa membawa delegasi ini ke Gaza jauh lebih mendesak daripada mengevakuasi korban luka, karena peralatan yang dibutuhkan untuk melakukan operasi penyelamatan nyawa tidak tersedia di wilayah tersebut. 

Dia juga menjelaskan bahwa banyak dari delegasi ini juga dapat membantu melatih staf medis lokal dalam melakukan prosedur yang rumit ini, sebuah langkah yang secara signifikan dapat meringankan krisis kesehatan yang sedang berlangsung.

Selain meminta tim medis, al-Bursh menggarisbawahi perlunya jalur yang aman untuk mengevakuasi para korban yang terluka. Meskipun perjanjian gencatan senjata mengizinkan keluarnya 300 orang yang terluka per hari, hanya sebagian kecil dari mereka yang dapat pergi, dan banyak dari pengungsi adalah anak-anak daripada korban yang sebenarnya. 

Dia menceritakan bahwa daftar 400 anak di bawah usia enam tahun telah diajukan untuk dievakuasi, namun berulang kali ditolak oleh penjajah Israel, dengan alasan “alasan keamanan.” Kelambanan ini telah menyebabkan konsekuensi yang memilukan, dengan setidaknya 100 anak meninggal dalam beberapa bulan terakhir karena penolakan Israel yang sedang menjajah untuk mengizinkan evakuasi mereka, meskipun mereka memenuhi syarat untuk menyeberang.

Al-Bursh menggambarkan situasi di Gaza utara sebagai bencana kemanusiaan, lebih buruk daripada dampak langsung dari perang. Kurangnya layanan medis, terutama untuk pasien dengan kondisi kronis seperti gagal ginjal, penyakit jantung, dan masalah kesehatan serius lainnya, telah mengakibatkan kerugian yang sangat besar. 

Dia menunjukkan bahwa Rumah Sakit Al-Shifa, yang sudah kewalahan, hanya dapat menampung 70 kasus dialisis ginjal, tetapi telah menerima 200 pasien baru sejak keluarga yang mengungsi diizinkan untuk kembali. Kekurangan pasokan penting, seperti peralatan dialisis, semakin menambah parah krisis ini, dan pasien ditolak.

Salah satu kekhawatiran yang paling mendesak, menurut al-Bursh, adalah runtuhnya rumah sakit seperti rumah sakit Indonesia, yang tidak dapat berfungsi karena ketiadaan peralatan penting seperti unit oksigen dan generator listrik. 

Meskipun perjanjian gencatan senjata telah menetapkan kebutuhan mendesak untuk membawa masuk pasokan tersebut, namun pihak penjajah telah mencegah barang-barang penting tersebut masuk ke wilayah tersebut.

Al-Bursh juga mengungkapkan bahwa rumah sakit lapangan, termasuk rumah sakit Qatar dengan 600 tempat tidur dan satu rumah sakit dari organisasi Dokter Tanpa Tapal Batas Prancis, seharusnya dipindahkan ke utara untuk memberikan perawatan darurat tetapi telah diblokir oleh Israel. Rumah sakit-rumah sakit ini bisa menjadi sangat penting dalam memenuhi kebutuhan medis yang terus meningkat di Gaza utara, namun pemindahan mereka telah ditunda tanpa batas waktu.

Selain kurangnya perawatan medis, al-Bursh berbicara tentang kekurangan parah dalam kebutuhan dasar seperti makanan, air bersih, dan tempat tinggal, yang terus membuat kelangsungan hidup di Gaza menjadi perjuangan sehari-hari. 

Ia menyatakan bahwa kehancuran infrastruktur kesehatan di Gaza telah menyebabkan lebih banyak kematian dibandingkan dengan kekerasan langsung dari penjajahan itu sendiri. Menurut al-Bursh, kurangnya akses ke layanan kesehatan terutama untuk populasi rentan seperti anak-anak dan pasien dialisis telah bertanggung jawab atas sebagian besar korban jiwa.

Dia mencatat bahwa 40 persen pasien dialisis ginjal saja telah meninggal karena mereka tidak dapat menerima perawatan yang diperlukan selama perang.

Meskipun telah berulang kali meminta bantuan, al-Bursh menegaskan bahwa organisasi-organisasi internasional dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah menghadapi penundaan yang signifikan dalam menyalurkan bantuan, terutama karena rintangan birokrasi dan perlunya persetujuan dari Israel. 

Ia meminta masyarakat internasional untuk bertindak cepat dalam mengatasi krisis ini, memastikan bahwa pasokan medis yang diperlukan, rumah sakit lapangan, dan bantuan kemanusiaan dapat masuk ke Gaza tanpa ada halangan.

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement