Jumat 07 Feb 2025 21:52 WIB

Koalisi Masyarakat Sipil Pernyataan DPN Ikut Penertiban Sawit Kental Nuansa Dwi Fungsi

UU Pertahanan harusnya untuk urusan pertahanan negara bukan sipil nonpertahanan.

Foto ilustrasi demonstrasi menolak Dwifungsi TNI:
Foto: Antara/Puspa Perwitasari
Foto ilustrasi demonstrasi menolak Dwifungsi TNI:

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Koalisi Masyarkat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamananan, mengatakan Dewan Pertahanan Nasional (DPN), yang akan mengambil peran dalam penertiban kawasan hutan, sawit tidak sesuai dengan amanat Pasal 15 UU Pertahanan. 

Hal ini disampaikan Koalisi Masyarakat Sipil menanggapi pernyataan Ketua DPN Sjafrie Sjamsoeddin, dalam rapat bersama dengan Komisi I DPR RI. Dalam rapat itu, Sjafrie Sjamsoeddin menyatakan, DPN dapat mengambil peran dalam urusan penertiban kawasan hutan, khususnya pelanggaran hukum oleh pengusaha kelapa sawit. Sjafrie mengatakan bahwa DPN akan bertugas mengobservasi seluruh permasalahan nasional di Indonesia.

Koalisi Masyarakat Sipil, kata Koordinator Centra Initiative, Al Araf, memandang pernyataan Sjafrie tersebut tidak hanya keliru, tetapi juga merusak sistem penegakan hukum nasional, dan supremasi sipil dalam sistem demokrasi di Indonesia. “Pernyataan ini mengindikasikan kembalinya praktik militerisme dan otoritarianisme ala Orde Baru yang terbukti mewariskan berbagai pelanggaran HAM,” kata Al Araf, dalam siaran persnya, Jumat (7/2/2025). 

Menurutnya, pernyataan tersebut tidak sesuai dengan amanat Pasal 15 UU Pertahanan. Dalam UU Pertahanan secara eksplisit ditujukan untuk mengurus kebijakan pertahanan negara. Bukan terlibat urusan sipil non-pertahanan. Upaya menarik DPN ke dalam ranah non-pertahanan, termasuk juga dalam pengelolaan ekonomi, adalah bentuk penyimpangan yang bertentangan dengan asas-asas pemerintahan yang baik.

Pembentukan DPN, kata Al Araf, harus benar-benar ditujukan untuk kepentingan pertahanan negara, memberikan nasihat, dan pertimbangan kepada Presiden dalam rangka menghadapi kemungkinan ancaman eksternal seperti perang. Jadi bukan untuk terlibat dalam urusan non-pertahanan di dalam negeri. 

“Keterlibatan DPN dalam urusan non-pertahanan hanya akan menghidupkan dwifungsi TNI (dulu ABRI) seperti masa Orde Baru yang mewariskan kasus pelanggaran berat HAM yang tak tuntas hingga kini,” ungkap Al Araf. 

Koalisi Masyarakat Sipil, menurut Al Araf, juga menilai, masalah DPN ini diawali dari pembentukan Peraturan Presiden No. 202 tahun 2024 tentang DPN yang memuat pasal karet. Ia mencontohkan Pasal 3 huruf F. Pasal ini mengatur bahwa DPN memiliki fungsi lain yang diberikan oleh Presiden. “Kami khawatir pasal ini dijadikan pasal sapu jagat sehingga dijadikan alasan untuk membenarkan pelanggaran HAM dan penyalahgunaan wewenang lainnya dalam ranah non-pertahanan,” paparnya.

Keterlibatan DPN dalam mengurus permasalahan nasional di luar pertahanan nyata-nyata menunjukkan gejala kembalinya Dwifungsi militer Orde Baru dalam kehidupan bernegara. Sebelumnya, lanjut Al Araf, ada beberapa keterlibatan militer dalam ranah sipil yang bermasalah seperti pengamanan proyek Rempang Eco-City yang berakibat pelanggaran HAM. 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement