REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Para akademisi Universitas Gadjah Mada (UGM) mengkritisi kinerja 100 hari pemerintahan Prabowo-Gibran dalam diskusi Pojok Bulaksumur yang digelar di Selasar Tengah Gedung Pusat UGM, Jumat (7/2/2025).
Pakar politik UGM, Mada Sukmajati, menilai dari delapan program "Asta Cita" yang dijanjikan, hanya program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang terlihat implementasinya, meski masih "acak-adul" dan tanpa desain yang jelas.
"Semua program cepat tadi itu, jangankan implementasi, rencananya saja tidak pernah disampaikan oleh pemerintah," ujar Mada. Ia menambahkan bahwa gaya kepemimpinan Prabowo yang bersifat "solidarity maker" belum diimbangi dengan kemampuan administratif dari jajaran kabinetnya.
Dari perspektif hukum, Hendry Noor Julian dari Fakultas Hukum UGM menyoroti wacana "pemaafan koruptor" yang menurutnya perlu diperjelas mekanismenya. "Kalau berbicara tentang pemberantasan korupsi, yang perlu diingat salah satunya poin pemberantasan korupsi itu bukan semata-mata mempidanakan, tapi perlu diimbangi dengan pengembalian kerugian keuangan negara," jelasnya.
Sementara itu, ekonom UGM Yudistira Permana mengkritisi kebijakan penghapusan tagihan utang UMKM yang dinilainya sebagai bentuk "desperate" dari pemerintah. "Ini bukan dalam rangka membela bank, tapi sama-sama ini, baik UMKM maupun bank ini cuma jadi main lempar sana, lempar sini," ungkapnya.
Yudistira juga memperingatkan bahwa pemangkasan anggaran yang dilakukan pemerintah bisa menjadi "bom waktu" akibat pembiaran tata kelola berbagai sektor, mulai dari subsidi energi hingga BPJS. Menurutnya, prediksi ekonomi 2025 cenderung stagnan dengan tingkat ketidakpastian yang tinggi akibat tensi geopolitik global.
Para akademisi juga mempertanyakan tingginya tingkat kepuasan masyarakat yang mencapai 80 persen terhadap kinerja pemerintahan Prabowo-Gibran. Mada menduga hal ini terkait dengan keputusan presiden menganulir kenaikan PPN dan kebijakan konversi tabung gas 3 Kg yang sempat menuai kontroversi.
Menurut prediksi lembaga-lembaga dunia seperti IMF dan World Bank, tahun 2025 akan diwarnai stagnasi ekonomi dengan ketidakpastian yang tinggi akibat tensi geopolitik global, terutama terkait distribusi energi, gas, dan minyak. "Kalau itu bisa dihindari, ya ekonomi diprediksi stagnasi saja. So-so saja. Nah, maka terus kemudian kalau ngomongin 8 persen, ya enggak apa-apa," tutup Yudistira.