Senin 10 Feb 2025 14:00 WIB

Ekonomi Hijau, Ekonomi Syariah, dan UMKM sebagai Pilar Ekonomi Indonesia

Ekonomi hijau merupakan visi alternatif bagi pertumbuhan ekonomi.

Petugas memberikan informasi kepada nasabah terkait sukuk hijau ritel di Jakarta.
Foto: Republika/Prayogi
Petugas memberikan informasi kepada nasabah terkait sukuk hijau ritel di Jakarta.

Oleh : Jaharuddin, Pengamat Ekonomi Syariah, Dosen FEB UMJ

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia menghadapi tantangan besar dalam membangun ekonomi yang inklusif, berkelanjutan, dan berdaya saing global. Ancaman perubahan iklim, eksploitasi sumber daya alam yang tidak terkendali, serta ketimpangan ekonomi yang masih tinggi menjadi alasan mendesak bagi pemerintah untuk mengarahkan kebijakan ekonominya menuju model yang lebih ramah lingkungan dan adil secara sosial. Salah satu strategi utama dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025–2045 adalah penerapan ekonomi hijau, yang menekankan keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi, perlindungan lingkungan, dan kesejahteraan masyarakat.

Namun, penerapan ekonomi hijau di Indonesia tidak dapat bergantung pada kebijakan teknokratis semata. Ekonomi syariah, sebagai sistem ekonomi berbasis nilai Islam, menawarkan kerangka etis yang memperkuat komitmen terhadap keberlanjutan. Dengan prinsip-prinsip seperti keadilan (al-adl), keseimbangan (mizan), larangan eksploitasi berlebihan (israf), dan keberlanjutan (al-Istidāmah), ekonomi syariah memiliki banyak kesamaan dengan ekonomi hijau. Oleh karena itu, mengintegrasikan kedua konsep ini bukan hanya relevan secara kebijakan, tetapi juga selaras dengan nilai-nilai budaya dan keagamaan mayoritas masyarakat Indonesia.

Menurut Söderholm (2020), ekonomi hijau merupakan visi alternatif bagi pertumbuhan ekonomi yang dapat menghasilkan kesejahteraan masyarakat tanpa mengorbankan keseimbangan ekologi. United Nations Environment Programme (UNEP, 2011) merumuskan bahwa ekonomi hijau bertumpu pada tiga pilar utama, yakni pembangunan rendah karbon (low-carbon development), efisiensi sumber daya (resource efficiency), dan inklusi sosial (social inclusion). Pendekatan ini menunjukkan bahwa ekonomi hijau tidak hanya berorientasi pada pertumbuhan ekonomi, tetapi juga menjamin keadilan sosial dalam distribusi manfaat pembangunan.

Lebih lanjut, Law et al. (2016) menegaskan bahwa ekonomi hijau juga mencakup prinsip pertumbuhan hijau (green growth) dan pembangunan rendah karbon, yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat tanpa mengorbankan keseimbangan ekologi. Dengan kata lain, ekonomi hijau tidak hanya fokus pada keberlanjutan lingkungan, tetapi juga menjamin keadilan sosial. Sementara itu, Musango, Brent, dan Tshangela (2014) menekankan bahwa investasi dalam ekonomi hijau, seperti proyek energi terbarukan dan pengelolaan ekosistem yang berkelanjutan, dapat meningkatkan stabilitas ekonomi dalam jangka panjang. Selain itu, ekonomi hijau juga berperan dalam mengurangi emisi karbon, menurunkan ketergantungan terhadap bahan bakar fosil, serta mendorong efisiensi dalam pemanfaatan sumber daya alam.

Dalam perspektif Islam, prinsip ekonomi hijau sangat sejalan dengan ajaran Al-Qur'an yang menekankan keseimbangan dan keberlanjutan. Allah berfirman dalam QS. Al-Hijr: 19, "Kami telah menghamparkan bumi, memancangkan padanya gunung gunung, dan menumbuhkan di sana segala sesuatu menurut ukuran(-Nya)” Ayat ini mengajarkan bahwa segala sesuatu diciptakan dengan keseimbangan yang presisi. Konsep ini selaras dengan prinsip ekonomi hijau yang menjaga keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dan keberlanjutan lingkungan.

Yusuf Al-Qaradawi, seorang ulama terkemuka, menjelaskan bahwa Islam sangat menghargai lingkungan dan menekankan konsep ramah lingkungan. Ia menyoroti tiga prinsip utama yang menjadikan Islam sebagai agama yang sangat peduli terhadap ekologi. Pertama, konsep khalifah (pengelola bumi) yang menunjukkan bahwa manusia ditunjuk sebagai pengelola bumi dan bertanggung jawab untuk menjaga keseimbangan ekosistem. Kedua, larangan berbuat kerusakan, sebagaimana disebutkan dalam QS. Al-Baqarah 11, "…. janganlah berbuat kerusakan di bumi….." Ketiga, konsep keseimbangan (mizan) dalam pemanfaatan sumber daya alam, sebagaimana dinyatakan dalam QS. Ar-Rahman: 7-9, yang mengingatkan agar manusia tidak melampaui batas dalam memanfaatkan alam.

Dengan dasar ini, ekonomi hijau tidak hanya sesuai dengan prinsip pembangunan modern, tetapi juga memiliki legitimasi moral yang kuat dalam ajaran Islam. Ini memberikan dasar yang kokoh bagi implementasi kebijakan ekonomi hijau di negara mayoritas muslim seperti Indonesia. Namun, penerapan ekonomi hijau berbasis syariah membutuhkan dukungan kelembagaan, regulasi, serta model bisnis yang dapat diterapkan secara luas, terutama di sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) yang menjadi tulang punggung perekonomian nasional.

Dalam konteks Indonesia, UMKM memiliki peran strategis dalam pembangunan ekonomi yang berkelanjutan. Berdasarkan data Kementerian PPN/Bappenas, proporsi usaha kecil dan menengah ditargetkan meningkat dari 1,32 persen (2019) menjadi 5,0 persen (2045), sementara rasio kewirausahaan nasional diharapkan naik dari 3,04 persen (2023) menjadi 8,0 persen (2045). Namun, untuk mencapai target tersebut, UMKM harus mampu mengadopsi praktik ekonomi hijau yang berbasis keberlanjutan serta memanfaatkan instrumen ekonomi syariah yang mendukung bisnis etis dan inklusif.

Agar UMKM dapat mendukung ekonomi hijau berbasis syariah, beberapa langkah strategis perlu dilakukan. Pertama, peningkatan kapasitas tenaga kerja dan wirausaha hijau dengan pelatihan dan pendampingan bagi UMKM dalam menerapkan model bisnis berbasis keberlanjutan, seperti pertanian organik, daur ulang, dan industri halal berbasis ramah lingkungan. Kedua, memperluas akses pembiayaan berbasis ekonomi hijau dan syariah dengan mengembangkan skema pembiayaan seperti Kredit Usaha Rakyat (KUR) Syariah Hijau, Green Sukuk, dan Wakaf Produktif. Ketiga, percepatan digitalisasi bagi UMKM hijau untuk meningkatkan efisiensi dan daya saing melalui teknologi digital, melalui transformasi mindset, culture, insitusi, dan pelembagaan transformasi digital.  Keempat, insentif bagi UMKM hijau berbasis syariah, seperti keringanan pajak dan kemudahan regulasi. Terakhir, meningkatkan daya saing produk UMKM hijau dan halal melalui sertifikasi halal dan sertifikasi ramah lingkungan agar produk mereka dapat bersaing di pasar domestik dan global.

Ekonomi hijau bukan hanya sekadar konsep, tetapi merupakan strategi utama pembangunan Indonesia 2025–2045. Dengan mengintegrasikan ekonomi hijau dan ekonomi syariah, Indonesia dapat memastikan bahwa pembangunan ekonomi tidak hanya berorientasi pada keuntungan finansial, tetapi juga memperhatikan keseimbangan sosial dan ekologi. Pandangan Yusuf Al-Qaradawi tentang lingkungan menegaskan bahwa Islam sangat menghargai keberlanjutan. Konsep khalifah di bumi, larangan berbuat kerusakan, serta keseimbangan dalam pemanfaatan sumber daya alam menjadi fondasi yang kuat untuk menerapkan ekonomi hijau berbasis syariah di Indonesia.

Dengan dukungan kebijakan yang tepat, akses pembiayaan hijau berbasis syariah, serta peningkatan literasi dan inovasi, UMKM dapat menjadi penggerak utama pertumbuhan ekonomi yang inklusif, berdaya saing, dan berkelanjutan. Pemerintah, sektor keuangan, dan pelaku usaha harus bekerja sama untuk memastikan bahwa ekonomi hijau berbasis syariah menjadi landasan dalam transformasi ekonomi Indonesia menuju masa depan yang lebih baik.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement