REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ekonomi global masih dibayangi ketidakpastian yang berpotensi memengaruhi pasar keuangan dunia, termasuk Indonesia. Kepala Ekonom Permata Bank, Josua Pardede mengungkapkan, ada empat faktor utama yang menjadi perhatian.
"Risiko global yang akan mempengaruhi kondisi ekonomi domestik dan juga market global berkaitan dengan trade war 2.0, yakni potensi perang dagang akibat kebijakan tarif impor yang akan dikenakan oleh Pemerintah Amerika Serikat," ujar Josua di Virtual Media Briefing PIER Economic Review: FY 2024, Senin (10/2/2025).
Selain itu, ketegangan geopolitik, khususnya di Timur Tengah, China-Taiwan, serta hubungan Amerika Serikat dengan negara-negara BRICS, turut meningkatkan ketidakpastian di pasar keuangan global.
Dari sisi nilai tukar, pergerakan rupiah masih dipengaruhi kebijakan suku bunga bank sentral global, terutama The Fed. Ekspektasi terkait suku bunga The Fed terus mengalami perubahan. "Tahun lalu, The Fed masih melihat peluang penurunan suku bunga sebesar 100 basis poin, namun kini pasar mulai lebih konservatif, bahkan sebagian melihat tidak ada penurunan tahun ini," jelasnya.
Selain itu, perlambatan ekonomi China juga menjadi faktor krusial. Josua menekankan China merupakan mitra dagang utama Indonesia, dengan kontribusi 20 persen hingga 25 persen dari total ekspor. "Perlambatan ekonomi China tentu berdampak pada permintaan ekspor Indonesia, terutama komoditas seperti CPO dan batubara," ujarnya.
Meski menghadapi tekanan eksternal, Josua menilai ekonomi Indonesia masih cukup resilien. Konsumsi domestik dan investasi akan menjadi faktor utama dalam menjaga stabilitas. "Kami melihat bahwa kondisi ekonomi domestik di tahun ini diperkirakan tetap memiliki resiliensi, sekalipun ada tekanan dari sisi global," kata Josua.
Dalam menghadapi tantangan tersebut, kebijakan pemerintah menjadi faktor kunci. Program-program ekonomi, termasuk penguatan sektor pertanian, perikanan, dan sumber daya alam, diharapkan dapat menopang pertumbuhan. "Dukungan kebijakan pemerintah akan sangat penting dalam menjaga momentum konsumsi masyarakat, khususnya kelas menengah," tambahnya.
Dari sisi pasar keuangan, Josua mencatat bahwa arus modal asing masih menunjukkan pergerakan yang beragam. "Di pasar saham, awal tahun ini masih tercatat outflow, namun di pasar obligasi dan instrumen SRBI masih mencatat inflow," jelasnya.
Meski rupiah sempat melemah di atas Rp 16 ribu per dolar AS, volatilitasnya masih lebih rendah dibandingkan mata uang negara lain. "Secara fundamental, kondisi ekonomi Indonesia tetap stabil, dan upaya dari otoritas moneter serta pemerintah turut menjaga stabilitas rupiah," ungkap Josua.
Dengan ketidakpastian global yang masih tinggi, Josua menegaskan bahwa resiliensi ekonomi domestik menjadi faktor utama dalam menjaga stabilitas. "Simulasi kami menunjukkan bahwa dampak dari perang dagang global terhadap ekonomi Indonesia relatif kecil, sekitar 0,06 persen poin. Ini mengindikasikan fundamental ekonomi kita tetap kuat," kata Josua.