REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perbankan menghadapi tekanan likuiditas sepanjang 2024 akibat berbagai faktor domestik dan eksternal. Namun, kondisi ini diperkirakan lebih kondusif pada 2025 seiring dengan perbaikan inflasi, percepatan belanja pemerintah, serta kebijakan makroprudensial yang lebih longgar.
Kepala Ekonom Permata Bank, Josua Pardede, menjelaskan indikator loan-to-deposit ratio (LDR) memang menunjukkan pengetatan likuiditas. Namun, hal itu bukan satu-satunya faktor dalam menilai kondisi perbankan. Dari sisi ekspansi kredit, pertumbuhan tahun ini masih diproyeksikan mencapai 10,78 persen, sejalan dengan pertumbuhan PDB nominal yang tetap kuat di kisaran 8 persen.
“Jika melihat dari sisi ekspansi kredit tahun ini, potensi perekonomian masih mendukung pertumbuhan kredit sekitar 10 persen, lebih tepatnya di kisaran 10,78 persen,” ujar Josua di Virtual Media Briefing PIER Economic Review: FY 2024, Senin (10/2/2025).
Meski ada tekanan likuiditas, Josua menilai perbankan tetap memiliki ruang untuk menyalurkan kredit. Salah satu strateginya adalah memanfaatkan kebijakan Bank Indonesia yang tetap longgar, termasuk kredit likuiditas makroprudensial (KLM), yang dapat menjadi instrumen bagi bank untuk menjaga keseimbangan antara ekspansi kredit dan kondisi likuiditas mereka.
Sementara itu, Financial Market Research Permata Bank Faisal Rachman menyoroti tekanan likuiditas di 2024 terutama terjadi pada semester pertama. Salah satu faktor utama adalah fenomena "makan tabungan", di mana masyarakat kelas menengah ke bawah menarik simpanan mereka untuk mempertahankan daya beli akibat inflasi pangan yang cukup tinggi.
“Kalau kita lihat, terutama untuk kelas menengah ke bawah, memang ada tendensi menarik tabungannya untuk bisa memaintain tingkat konsumsi,” ujar Faisal.
Selain itu, rendahnya realisasi belanja daerah turut memperburuk kondisi likuiditas. Menurut Faisal, meskipun 2024 adalah tahun politik, banyak pejabat plt yang enggan mengambil keputusan terkait belanja, sehingga penyerapan anggaran daerah cenderung tertahan.
“Banyak pejabat daerah yang akhirnya wait and see. Karena itu, realisasi belanja daerah tidak setinggi yang seharusnya,” tambahnya.
Dari sisi eksternal, tekanan likuiditas juga dipicu oleh capital outflow, terutama akibat ketidakpastian global seperti tensi geopolitik Timur Tengah dan kebijakan ekonomi pemerintahan Trump.
Namun, kondisi likuiditas pada 2025 diproyeksi lebih baik dibandingkan tahun sebelumnya. Faisal menjelaskan, beberapa faktor utama akan berkontribusi terhadap stabilisasi likuiditas perbankan. Salah satunya adalah terkendalinya inflasi pangan, yang akan mengurangi tekanan terhadap tabungan masyarakat.
“Jika pangan terjaga, fenomena ‘makan tabungan’ seharusnya sudah bisa berkurang, sehingga akan sedikit men-support likuiditas perbankan,” jelas Faisal.
Selain itu, kebijakan fiskal yang lebih pro-pertumbuhan juga menjadi faktor pendukung. Jika pemerintah mempercepat realisasi belanja sejak awal tahun, dampaknya akan lebih merata dan tidak hanya terkonsentrasi di semester kedua. Kebijakan makroprudensial KLM yang diperluas ke sektor-sektor padat karya juga diharapkan dapat membantu perbankan dalam menyalurkan kredit.
Meski demikian, tantangan tetap ada, terutama dari sisi capital outflow. Namun, Faisal menilai dampak instrumen SRBI terhadap likuiditas perbankan di 2025 tidak akan sebesar tahun sebelumnya. "Dulu SRBI muncul karena yield gap menyempit akibat kenaikan agresif suku bunga di negara maju. Sekarang berbeda, karena tren pemotongan suku bunga di negara maju justru lebih agresif dibandingkan Indonesia," terang Faisal.