REPUBLIKA.CO.ID, BEIRUT – Belum dua pekan menjabat sebagai presiden Amerika Serikat, Donald Trump menggegerkan dunia dengan rencana pencaplokan dan pengusiran besar-besaran di Gaza. Di sisi lain, rencana gila Trump tersebut memicu solidaritas di antara negara-negara Arab belakangan.
Negara-negara anggota Organisasi Kerjasama Islam (OKI) juga telah sepakat untuk mengadakan pertemuan darurat untuk menegaskan kembali “hak-hak yang tidak dapat dicabut dari rakyat Palestina”.
Kementerian Luar Negeri Mesir mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa forum tersebut juga akan membahas hak warga Palestina untuk menentukan nasib sendiri dan untuk hidup di tanah mereka. Pertemuan tersebut akan berlangsung setelah KTT darurat Arab yang dijadwalkan berlangsung di Kairo pada 27 Februari.
Sedangkan Aljazirah melansir bahwa Perdana Menteri Lebanon mengatakan bahwa kali ini solidaritas dari negara-negara Arab “mampu menghentikan” rencana yang diajukan oleh para pemimpin AS dan Israel untuk “menghilangkan negara Palestina”.
“Saya menganggap rencana ini menjijikkan,” kata Nawaf Salam, mengacu pada rencana baru-baru ini yang diajukan oleh Trump dan Netanyahu yang menyerukan “pemindahan warga Gaza” ke Mesir, Yordania, Tepi Barat yang diduduki, dan Arab Saudi.
Salam, yang sampai saat ini menjabat sebagai presiden Mahkamah Internasional (ICJ), juga mengatakan bahwa rencana tersebut “dipertanyakan secara moral, politik [dan] hukum”, dan menggambarkannya sebagai “sebuah fantasi”. “Bagaimana negara Palestina bisa didirikan di Kerajaan Arab Saudi?”, katanya, dalam sebuah wawancara dengan televisi pemerintah, menurut berita NNA.
Sebelumnya, Kerajaan Yordania telah mengatakan bahwa soal pengusiran warga Gaza ke wilayah mereka adalah persoalan keberlangsungan hidup kerajaan itu. mereka siap menghentikan perjanjian damai dengan Israel jika hal tersebut dilakukan. Pandangan serupa juga dilayangkan Mesir yang terikat perjanjian damai dengan Israel sejak 1970-an.
Menteri Luar Negeri Yordania Ayman Safadi mengatakan Amman dengan tegas menentang pemukiman kembali paksa warga Palestina dari tanah mereka. “Ada posisi tetap dan teguh Yordania yang tidak akan berubah, seperti Palestina tidak dapat dipindahkan ke Mesir, Yordania, atau negara Arab mana pun,” katanya di TV al-Mamlaka milik negara.
“Warga Palestina tidak bisa dipindahkan dari tanah mereka. Kami akan bekerja sama dengan presiden Amerika untuk membangun Gaza tanpa memindahkan penduduknya.
“Kami akan mengupayakan perdamaian yang adil, yang tidak dapat terwujud tanpa penerapan solusi dua negara yang menjamin hak-hak rakyat Palestina, terutama hak kebebasan dan negara berdaulat yang merdeka di tanah air Palestina.”
Raja Yordania Abdullah II juga menolak rencana Trump dengan mengatakan bahwa negara-negara Arab akan memberikan rencana alternatif untuk membangun kembali Gaza tanpa mengusir warga Palestina dari tanah air mereka.
![photo](https://static.republika.co.id/uploads/images/headline_slide/_250212081752-754.png)
Raja Yordania Abdullah II menjadi pemimpin Arab pertama yang bertemu Trump di Gedung Putih sejak masa jabatan kedua presiden AS dimulai pada 20 Januari. Namun, pertemuan dengan Trump pada hari Selasa menempatkan Abdullah dalam situasi yang sulit.
Presiden kembali menggandakan rencananya agar AS mengambil alih Gaza, dan menekan raja untuk mengalokasikan tanah bagi warga Palestina yang terpaksa mengungsi. Abdullah memilih untuk menghindari berbicara terlalu banyak di depan media, dan ketika dia melakukannya, bahasanya berhati-hati, tepat dan dirancang untuk menghindari ketegangan.
Ketika ditanya apakah Yordania akan menerima warga Palestina yang mengungsi dari Gaza, pemimpin Yordania tersebut mengatakan dia akan melakukan yang “terbaik” untuk negaranya. Namun, dalam postingan media sosial setelah pertemuan tersebut, dia mengatakan bahwa Yordania “teguh” dalam “posisinya melawan pengungsian warga Palestina di Gaza dan Tepi Barat”.