Oleh Fitriyan Zamzami, jurnalis Republika
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Kunjungan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan ke Indonesia disebut terkait juga dengan rencana pembelian senjata. Ini sedianya sejarah yang berulang, karena merujuk catatan resmi, korespondensi mula-mula dari Nusantara ke Turki Utsmaniyah juga soal permintaan bantuan militer melawan penjajah Portugis.
Bukti-bukti hubungan itu, utamanya terkait korespondensi dari Kerajaan Aceh dengan Utsmani, salah satu yang dirangkum dalam buku “Turki Utsmani-Indonesia: Relasi dan Korespondensi Berdasarkan Dokumen Turki Utsmani,” yang terbit pada 2017. Bukti-bukti itu dihimpun cendekiawan Turki dari arsip-arsip lama yang tersimpan di berbagai museum di Turki.
Hubungan Aceh dan Turki tak lepas dari kolonialisme Portugis yang bermula pada 1498 ketika Vasco Da Gama menemukan jalur baru ke India. Pelaut dan prajurit Portugis kala itu memporak porandakan berbagai wilayah di sekitar Samudera Hindia dalam upaya memonopoli jalur dagang. Karena kegiatan perdagangan di daerah ini berada di bawah kekuasaan Muslim, terlibatlah mereka dengan perang melawan Portugis. Agresi ini dibumbui juga dengan sentimen Perang Salib yang masih mengakar di benak orang Eropa.
Menyaksikan kenyataan seperti ini, beberapa penguasa di daerah ini memutuskan untuk memerangi kekuatan Portugis dan menghalau mereka keluar dari daerah tersebut. Salah satunya Sultan Alauddin, penguasa seluruh wilayah Aceh di Sumatra.
Pada 1537, Alauddin Syah memakzulkan saudaranya Salahuddin dari tahta dan mengambil alih kekuasaan. Sultan Alauddin bertempur melawan kekuatan Portugis dan kerajaan setempat. Untuk itu, ia membutuhkan bantuan militer yang kemudian ia mintakan pada kesultanan Turki Utsmaniyah. Pada awal abad ke-16 tersebut, ia memutuskan untuk mengirim empat kapal penuh dengan lada hitam ke Kekaisaran Turki Utsmani terkait permintaan bantuan ini. Sebagai respons, Sultan Turki mengirimkan 300 prajurit untuk menolong Aceh, sebagaimana harapan Sultan Alauddin.
Dituliskan dalam buku “Turki Utsmani-Indonedia”, saat itu, Kerajaan Aceh terlibat peperangan dengan Kerajaan Batak (Tamiang) di Sumatra Utara yang meminta bantuan ke Portugis. Tamiang mengirimkan utusan ke Malaka pada Juni 1539 untuk mencari bantuan dari Portugis, la telah mengatur pertemuan dengan penjelajah Portugis Fernão Mendes Pinto dan juga gubernur baru Portugis, De Faria.
![photo](https://static.republika.co.id/uploads/images/headline_slide/_250212103839-774.png)
"Pinto menjelaskan bahwa Portugis telah menyerang sebanyak sembilan kali selama 70 hari, la juga menambahkan bahwa perwira-perwira tinggi dan juga insinyur dari Turki telah banyak membantu Aceh selama peperangan terjadi. Lagi menurut Pinto, bantuan militer Turki Utsmani telah membantu Kesultanan Aceh memenangkan peperangan melawan Kesultanan Aru di bagian Timur Laut Sumatra.”
Salah seorang komandan Aceh dilaporkan merupakan seorang Abessinia bernama "Mamedecan" atau Mehmed, yang tiba melalui Jeddah. la dikirimkan sebagai pengikat kerja sama antara Hadim Sulaiman Pasha, yang mewakili Sultan Turki Utsmani, dengan Sultan Aceh. Sebagai perwujudan dari aliansi ini, maka Turki diperbolehkan membeli barang dari Pelabuhan Aceh tanpa harus membayar pajak, dan sebagai timbal baliknya Aceh mendapatkan bantuan militer dan persenjataan dari Turki."
Bantuan kedua ke Aceh
Merujuk buku itu pula, seorang sejarawan Austria bernama BJ von Hammer mencatat bahwa Sultan Aceh Alauddin mengirim perwakilan ke Istanbul pada 1547 untuk memohon bantuan militer untuk melawan Portugis. Meskipun tidak ada bukti yang memperlihatkan apakah permohonan ini dibalas atau tidak, namun beberapa peristiwa lain mengindikasikan adanya bantuan tersebut.
Sejarawan Frederick Charles Danvers menjelaskan bahwa pasukan Aceh adalah musuh Portugis yang sangat sulit untuk dikalahkan dalam peperangan. Sultan Aceh mengirim enam puluh armada kapal dan lima ribu prajurit pada 1547 untuk menyerang Malaka. “Di antara pasukan tersebur, pasukan yang paling hebat adalah pasukan Turki Janissaries yang dikomandoi oleh seorang Muslim." Menurut Danver, kekuatan besar Turki itu merupakan pasukan yang dikirim atas permintaan Sultan Aceh."
BJ von Hammer juga menyebutkan tentang adanya duta Aceh yang disebut dalam surat duta besar Venesia. Rombongan ini berangkat dari Aceh untuk memohon pertolongan melawan kekuatan Portugis. Komite ini juga disaksikan oleh angkatan bersenjata Portugis. Di dalam kapal rombongan Aceh itu, terdapat 500 prajurit terdiri dari Turki, Arab, Ethiopia dan Aceh. Sehingga mereka menyerang komite tersebut di Pantai Selatan semenanjung Arab pada Maret atau April 1561, namun mereka berhasil sampai di Istanbul.
Kedatangan rombongan ini di Istanbul pada tahun 1562 dijelaskan dalam surat resmi yang dikirim oleh Sultan Alauddin Syah ke Yang Dipertuan Agung Sultan Sulaiman Kanuni (Suleiman the Magnificent) pada 1566. Dalam surat tersebut, Sultan Aceh menjelaskan bahwa, sebelumnya dia telah mengirim dua perwakilan Aceh, bernama Umar dan Husein.
![photo](https://static.republika.co.id/uploads/infografis/potongan-surat-sultan-aceh-alauddin-kepada-sultan-suleiman-kanuni_250212104013-672.jpg)
Komite Aceh tersebut meminta bantuan persenjataan berupa 40 meriam dan 10 senjata perang darat, ahli senjata dan juga ahli meriam dari Sultan Turki Utsmani. Namun demikian, Sultan Suleiman tidak bisa langsung memenuhi permintaan ini karena khawatir akan dirampas di tengah perjalanan.
“...bola meriam dan peralatan lainnya telah dipersiapkan untuk dikirim sesuai permintaan. Namun, karena negara Anda sangat jauh maka cukup sulit untuk mengirimkan amunisi-amunisi ini ke Aceh. Senjata ini bisa saja di rampas oleh musuh,” bunyi balasan Sultan Suleiman. Ia menambahkan, mereka memerlukan prajurit yang cukup banyak untuk melindungi peralatan dan juga penunjuk jalan yang berpengalaman, yang mengetahui rute dengan baik serta sudah sering melakukan perjalanan melalui rute ini. “Apabila permintaan ini dipenuhi, maka tidak mustahil untuk mengirimkan peralatan yang diminta."
Akhirnya, ia mengirimkan seorang pengamat sekaligus peneliti bernama Lutfi Bey bersama dengan sekelompok ahli militer dan 14 meriam agar mereka dapat memberikan gambaran tentang kondisi Aceh sehingga dukungan yang memadai dapat diberikan.