REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Republik Indonesia, Bahlil Lahadalia mengatakan kembalinya Donald Trump ke kursi Presiden Amerika Serikat mengubah peta desain energi dunia. Ini perihal fokus global menuju transisi energi.
Bahlil menerangkan, sebelumnya ada momen di mana hampir semua negara berbicara tentang energi hijau. Konsep industri berorientasi pada green energy. Muaranya untuk melahirkan produk yang lebih bersih.
"Tapi begitu Pak Trump jadi Presiden Amerika, bubar jalan ini semua. Bubar jalan. Kita pikir batu bara sudah selesai, eh 'bernyawa lagi barang ini'," kata Menteri ESDM, saat berbicara di Mandiri Investment Forum 2025, di Hotel Fairmont, Jakarta, Selasa (11/2/2025) lalu.
Ia menyinggung keputusan AS keluar dari Paris Agreement (Perjanjian Iklim Paris). Situasi demikian, menurut Bahlil, memengaruhi langkah Indonesia. Ada penyesuaian lagi. "Tapi dengan keluarnya Amerika dari komitmen Paris Agreement, ya Amerika aja keluar kok dia yang membuat, apalagi Indonesia yang cuma ikut-ikut ini. Iya kan? Sudah baseline kita berbeda, mereka negara maju, uangnya sudah banyak," katanya.
Menurut Bahlil tidak selamanya industri batu bara identik dengan energi kotor. Indonesia, jelas dia, mulai berpikir untuk memakai teknologi mitigasi penurunan emisi CO2 (Carbon Capture and Storage/CCS). Selanjutnya, dari segi harga. Penggunaan listrik dengan batu bara lebih murah, yakni sekitar 5-6 sen per Kwh. Sementara, jika memakai energi baru terbarukan (EBT), biaya yang dikeluarkan 9,5-10 sen per Kwh.
"Saya lebih memilih untuk tetap komitmen pada energi bersih dengan kita blending antara batu bara, gas, dan energi terbarukan yang lain. Tetapi masyarakat tidak dikorbankan dengan harga yang mahal dan negara juga tidak dibebani dengan subsidi," ujar Bahlil.
Menteri ESDM menegaskan, adanya dinamika terbaru ini tidak mengubah komitmen Indonesia dalam Perjanjian Iklim Paris. Namun, pemerintah perlu melihat skala prioritas. Negara tetap mempertimbangkan untuk memakai PLTU.
"Karena dia kan biayanya cuma 5 sen, 6 sen. Kalau kita pakai energi baru-baru kan di atas 10 sen. Bahkan selisihnya kalau kita pakai antara batubara dan gas, selisih per satu gigawatt per tahun Rp 5-Rp 6 triliun. Jadi 5-6 triliun ini siapa yang mau nanggung? Negara, subsidi lagi. Atau rakyat. Ya, saya kan harus berpikir mendahulukan kepentingan rakyat dong," ujar Bahlil.
Ia mempertegas pernyataannya di awal. Ada pergabungan dalam eksekusinya, antara energi batubara, gas, dan EBT. "Kita lagi mendesain untuk carbon capturenya, sehingga batubara itu, batubara bersih," ujarnya.
Beberapa hari lalu, para peneliti lingkungan di Yayasan Indonesia Cerah mengulas secara mendalam, isu terkait. Pernyataan Utusan Khusus Presiden RI Bidang Iklim dan Energi Hashim S Djojohadikusumo, yang secara tersirat mempertanyakan keikutsertaan Indonesia dalam Perjanjian Paris, disusul disetujuinya rancangan Kebijakan Energi Nasional (KEN) yang masih mempertahankan PLTU, menimbulkan kekhawatiran terhadap ketahanan ekonomi dan energi Indonesia.
Menurut Indonesia Cerah, pernyataan itu merupakan sinyal pelemahan transisi energi yang akan memperburuk krisis iklim, dan pada gilirannya berdampak negatif pada pertumbuhan ekonomi. Dengan meratifikasi Perjanjian Paris, Indonesia berkomitmen menurunkan emisi hingga 31,89 persen dengan upaya sendiri dan 43,2 persen dengan dukungan internasional pada 2030. Sektor energi termasuk penghasil emisi terbesar, sehingga Indonesia menargetkan pensiun dini PLTU dan bertransisi ke energi terbarukan.
Namun, sinyal-sinyal pembatalan pensiun dini PLTU justru menguat menyusul pernyataan terbaru Hashim yang juga menyebut, penutupan PLTU akan berdampak pada ‘bunuh diri ekonomi’. Hal ini diperburuk dengan disetujuinya Rancangan Peraturan Pemerintah tentang KEN oleh DPR, yang menunjukkan penggunaan PLTU hingga 2060 akan tetap dilanjutkan dengan memanfaatkan teknologi penangkapan karbon dan co-firing.
"Pernyataan pemerintah yang ragu melanjutkan Perjanjian Paris dan kemungkinan membatalkan pensiun dini PLTU perlu dipertimbangkan ulang. Pensiun dini PLTU justru bisa membuka peluang ekonomi yang lebih baik untuk masa depan Indonesia, karena tren investasi global kini mengarah pada negara-negara yang memiliki komitmen kuat untuk bertransisi dan menyediakan sumber energi hijau,” kata Policy Strategist CERAH, Sholahudin Al Ayubi, lewat keterangan tertulis.
Sejumlah konsekuensi membayangi Indonesia di masa depan jika memutuskan mundur dari Perjanjian Paris. Dampaknya sama sekali tidak menguntungkan bagi Indonesia, dan bisa menjadi ‘bunuh diri ekonomi’ sesungguhnya.
Pertama, turunnya kepercayaan internasional terhadap Indonesia sebagai mitra global untuk mengatasi krisis iklim. Hal ini berdampak pada hubungan diplomatik dan perdagangan, terutama dengan negara-negara yang memiliki standar lingkungan, sosial, dan tata kelola (ESG), serta pembangunan berkelanjutan yang ketat, seperti Uni Eropa.
Kedua, berpotensi menghambat aliran investasi asing ke Indonesia, khususnya dari negara-negara yang berkomitmen pada pembiayaan hijau dan proyek berkelanjutan. Sejumlah negara telah melakukan penjajakan, bahkan bekerja sama dengan Indonesia di sektor energi bersih, seperti Singapura, Norwegia, Jepang, Uni Emirat Arab (UEA), Jerman dan negara lainnya.
"Jadi, transisi energi sesungguhnya tidak hanya soal upaya menurunkan emisi, melainkan juga cara memaksimalkan potensi ekonomi Indonesia yang sesungguhnya. Jika hal ini tidak kita lakukan, Indonesia akan semakin tertinggal dalam laju supply-demand transisi energi yang sedang terjadi di hampir seluruh negara,” ujar Al Ayubi.
Ketiga, pembangunan energi terbarukan di Indonesia akan terhambat dan ketergantungan negara pada bahan bakar fosil, khususnya batu bara, semakin kuat. Kondisi ini akan membebani ekonomi negara, mengingat subsidi bahan bakar fosil pada 2024 saja menelan anggaran hingga Rp 386,9 triliun–yang hampir setengahnya atau Rp 156,4 triliun, digunakan untuk subsidi dan kompensasi listrik.
Tak hanya itu, laporan International Renewable Energy Agency (IRENA) dan Kementerian ESDM bertajuk Indonesia Energy Transition Outlook (2022) menyebutkan, transisi dari bahan bakar fosil dapat mengurangi biaya eksternalitas polusi dan perubahan iklim, dengan potensi penghematan hingga 20-38 miliar dolar AS per tahun atau sekitar 2-4 persen produk domestik bruto (PDB) Indonesia pada 2050.
"Biaya transisi energi terbarukan kini 40 persen-80 persen jauh lebih murah sejak 10 tahun terakhir. Transisi ke energi terbarukan membantu Indonesia mengurangi ketergantungan pada subsidi bahan bakar fosil yang membebani anggaran negara, sekaligus menciptakan kemandirian energi dan peluang ekonomi jangka panjang,” kata Policy Strategist CERAH, Sartika Nur Shalati.
Keempat, krisis iklim yang semakin parah akibat emisi gas rumah kaca yang tidak terkendali, akan berdampak langsung pada sektor-sektor vital ekonomi Indonesia, seperti pertanian, perkebunan, perikanan, dan pariwisata. Apalagi, tahun 2024 tercatat sebagai tahun terpanas sepanjang sejarah, yang telah melampaui target Perjanjian Paris, yakni membatasi kenaikan suhu bumi di bawah 1,50C.
Pemerintah perlu menyadari bahwa Indonesia termasuk dalam lima besar negara paling rentan terhadap perubahan iklim, menurut data Cross Dependency Initiative (XDI). Dengan memenuhi komitmen Perjanjian Paris, Indonesia tidak hanya berkontribusi pada upaya global melawan perubahan iklim, tetapi juga melindungi masyarakat dari dampak buruk krisis iklim.