REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terus mendorong penerapan keuangan berkelanjutan di Indonesia melalui berbagai inisiatif, termasuk sukuk wakaf dan taksonomi hijau. Kepala Departemen Perbankan Syariah OJK, Deden Firman Hendarsyah menjelaskan keuangan, berkelanjutan tidak hanya berfokus pada aspek lingkungan, tetapi juga sosial dan tata kelola perusahaan (ESG).
“Ada yang namanya efek-efek berwawasan, maksudnya efek bersifat utang atau sukuk yang khusus untuk kegiatan terkait lingkungan. Ada juga yang khusus terkait dengan kegiatan berwawasan sosial, bahkan ada yang namanya sukuk wakaf, di mana sukuk diterbitkan dan hasil penerbitannya harus digunakan untuk kegiatan atau proyek yang mengoptimalkan manfaat aset wakaf,” ujar Deden dalam Sustainable Islamic Economic Summit, Beyond Halal The Thayyib Economy for Sustainable Livelihood yang diikuti secara daring, Kamis (13/2/2025).
Ia mencontohkan, sukuk wakaf dapat dimanfaatkan untuk membangun fasilitas produktif di atas tanah wakaf, seperti sekolah atau supermarket, sehingga memberikan manfaat ekonomi yang lebih luas. Setelah sebelumnya, kata Deden, wakaf lebih sering diperuntukkan untuk makam.
Deden juga menyoroti perkembangan Taksonomi Hijau Indonesia yang kini telah berevolusi menjadi Taksonomi Keuangan Berkelanjutan Indonesia. “Di dalam taksonomi hijau itu ada kategori aktivitas berwarna hijau, kuning, dan merah. Dalam perkembangannya, OJK mengeluarkan taksonomi baru, di mana kategorinya berubah menjadi hijau, transisi, dan tidak memenuhi klasifikasi,” jelasnya.
Konsep transisi ini, menurut Deden, memungkinkan aktivitas yang semula tidak ramah lingkungan untuk beradaptasi menuju standar keberlanjutan yang lebih baik. Taksonomi ini tidak hanya bertujuan untuk mengklasifikasikan aktivitas perusahaan, tetapi juga mendorong agar aktivitas tersebut lebih berwawasan keberlanjutan.
Dalam upaya memperkuat keuangan berkelanjutan, OJK juga telah mengeluarkan Climate Risk Management and Scenario Analysis (CRMS), yaitu panduan bagi perbankan dalam mengelola risiko lingkungan dan perubahan iklim. Dalam dua tahun ke depan, empat dari sepuluh risiko terbesar di dunia berkaitan dengan lingkungan.
"Bahkan, dalam jangka waktu sepuluh tahun, enam dari sepuluh risiko terbesar terkait dengan dampak lingkungan,” ungkap Deden.
Menurutnya, pedoman ini selaras dengan standar internasional yang dikeluarkan oleh Bank for International Settlements (BIS). Namun, untuk saat ini, OJK masih menerapkannya dalam bentuk panduan, bukan regulasi wajib.
Selain isu lingkungan, Deden juga menyoroti pentingnya aspek tata kelola dalam industri keuangan. Ia menyebut bahwa Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG) telah mengeluarkan dua pedoman tata kelola, yaitu untuk sektor publik dan untuk entitas syariah.
Sejalan dengan itu, OJK juga telah mengeluarkan berbagai regulasi terkait tata kelola perbankan, termasuk POJK Nomor 17 Tahun 2023 untuk bank umum, serta aturan khusus bagi Bank Umum Syariah agar tetap sesuai dengan prinsip syariah.
“Social value di perbankan syariah itu merupakan nilai tambah tersendiri dibandingkan dengan bank konvensional,” ujar Deden.
OJK juga telah mengeluarkan Roadmap Pengembangan dan Penguatan Keuangan Syariah 2023, yang bertujuan menjadikan perbankan syariah tidak hanya resilient dan kompetitif, tetapi juga berdampak sosial dan ekonomi bagi masyarakat.
Sebagai bentuk penguatan sektor keuangan syariah, Deden menjelaskan bahwa dalam Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK) Nomor 4 Tahun 2023, bank syariah kini diperbolehkan untuk menghimpun dan mengelola dana sosial.
“Sebelumnya, fungsi ini tidak disebutkan secara eksplisit dalam UU Perbankan Syariah tahun 2008. Namun, dengan adanya UU P2SK tahun 2023, hal ini telah diperjelas,” kata Deden.