REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Inilah sebuah kisah yang menunjukkan besarnya penghargaan Islam pada toleransi. Ketika itu, Nabi Muhammad SAW sudah berhijrah dari Makkah ke Madinah.
Di kota yang dahulu bernama Yastrib itu, Rasulullah SAW menyatukan menyatukan kaum Anshar (penduduk lokal) dan Muhajirin (orang-orang Makkah yang ikut berhijrah). Mereka diikat dalam ikatan iman dan persaudaraan yang teguh.
Tak hanya itu. Beliau juga memberlakukan Piagam Madinah. Inilah sebuah perjanjian atau bahkan "konstitusi" yang mengikat bukan hanya umat Islam, melainkan juga kaum Yahudi dan penyembah berhala yang tinggal di Madinah. Tujuannya, agar masing-masing unsur masyarakat tersebut dapat hidup berdampingan secara damai dan saling tolong menolong.
Namun, mulai muncul upaya-upaya untuk merusak Piagam Madinah. Contohnya adalah satu peristiwa yang kemudian menjadi asbabun nuzul Alquran surah al-Baqarah ayat ke-256.
View this post on Instagram
Dalam sebuah bukunya, Buya Hamka menerangkan situasi sebuah kabilah Yahudi yang bernama Bani Nadhir. Kelompok ini berkali-kali melanggar poin-poin penting dalam Piagam Madinah. Bahkan, suku itu terbukti berencana membunuh Nabi Muhammad SAW. Oleh karena itu, Bani Nadhir diusir dari Madinah.
Namun, kaum Muslimin terkendala suatu tradisi setempat yang sudah berlaku sebelum kedatangan Islam. Saat kota itu masih bernama Yastrib, penduduk setempat merasa kehidupan orang-orang Arab lebih jahil daripada komunitas Yahudi.