Jumat 14 Feb 2025 19:19 WIB

Asosiasi Minta Pemerintah Kaji Perpres Nomor 5 Tahun 2025

Kami sudah bersertifikat, kok tiba tiba ditunjuk menjadi kawasan hutan.

Foto udara lahan perkebunan kelapa sawit skala besar dan tanaman mangrove di kawasan penyangga Cagar Alam Hutan Bakau Pantai Timur Sumatra, Mendahara, Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Provinsi Jambi.
Foto: ANTARA/Wahdi Septiawan
Foto udara lahan perkebunan kelapa sawit skala besar dan tanaman mangrove di kawasan penyangga Cagar Alam Hutan Bakau Pantai Timur Sumatra, Mendahara, Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Provinsi Jambi.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 5 Tahun 2025 tentang Penertiban Kawasan Hutan. Kalangan unsur masyarakat dari petani kelapa sawit berharap, aturan tersebut sebaiknya dikaji secara hati-hati dan mendalam dalam pelaksanaannya agar tidak merugikan kepentingan rakyat banyak.

Ketua Umum Asosiasi Petani Kelapa Sawit Perusahaan Inti Rakyat (Aspekpir) Setiyono menyampaikan, para anggotanya sudah memiliki sertifikat sah dari pemerintah. Karena itu, dia keberatan jika lahan-lahan para petani sawit yang bersertifikat sah kemudian diubah menjadi kawasan hutan.

"Kami petani kelapa sawit yang ada programnya pemerintah tentang transmigrasi dan perkebunan kelapa sawit, kami tentu keberatan, yang bagian plasma ya, dengan aturan tersebut. Kenapa? Kami sudah bersertifikat dan itu program pemerintah. Kok tiba tiba ditunjuk menjadi kawasan (hutan), kami keberatan," kata Setiyono kepada wartawan di Jakarta pada Jumat (14/2/2025).

Dia bercerita, para petani yang tergabung dalam Aspekpir berasal dari program pemerintah Perkebunan Inti Rakyat (PIR) sejak 1980. Program tersebut mencetak petani-petani kelapa sawit yang andal dan tersebar dari Sabang sampai Merauke. Tidak sedikit di antara mereka menjadi petani kelapa sawit yang berhasil, baik dalam mengelola kelapa sawit yang baik maupun dalam mengembangkannya.

Melalui program PIR, kelapa sawit semakin masif berkembang dan jumlah petani di Indonesia terus meningkat. Saat ini, jumlah anggota Aspekpir mencapai 450 ribu anggota dengan luas lahan kelapa sawit yang dikelola mencapai 900 ribu hektare. Dengan bekal sertifikat tersebut, Setiyono optimistis, lahan-lahan petani sawit seharusnya tidak masuk dalam target Perpres Nomor 5 Tahun 2025.

Hanya saja, ia bersama seluruh anggotanya akan berjuang jika lahan-lahan yang rata-rata sudah bersertifikat selama 30 tahun kemudian tiba-tiba diubah menjadi kawasan hutan. "Kami petani plasma, dulu ikut program yang transmigrasi digandengkan dengan kelapa sawit. Kemudian akhir-akhir ini ditunjuk menjadi kawasan hutan, tentu kami keberatan. Kecuali kalau kami memang bukan program transmigrasi terus menanam sawit di kawasan (hutan), itu beda," jelas Setiyono.

Karena itu, dia berharap, pemerintah memilah-milah lahan mana yang harus dimasukkan ke dalam kawasan hutan dan mana yang tidak. Pasalnya, penetapannya pun lebih lewat pantauan satelit daripada langsung turun ke lapangan.

"Misalnya yang dulu sudah tidak kawasan (hutan), tiba-tiba masuk jadi Kawasan (hutan). Apalagi sudah bersertifikat. Memang kita sadari, ada juga memang di kawasan (hutan). Betul, itu ada. Tapi kan yang transmigrasi kan program pemerintah juga," ucap Setiyono.

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement