Ahad 16 Feb 2025 11:20 WIB

Tak Seperti Orang Jawa, Kenapa Orang Sunda Sulit Jadi Presiden Indonesia?

Delapan presiden Indonesia berdarah Jawa.

Presiden Prabowo Subianto di Istana Negara, Jakarta Pusat, Selasa (10/12/2024).
Foto: BPMI
Presiden Prabowo Subianto di Istana Negara, Jakarta Pusat, Selasa (10/12/2024).

REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Dari delapan presiden yang memimpin Indonesia, semuanya memiliki darah Jawa. Meski ada anggapan BJ Habibie jadi satu-satunya presiden dari luar etnis Jawa karena dianggap beretnis Gorontalo, pria yang dihormati warga Jerman tersebut menyebut ibunya asli orang Solo. Orang luar Jawa hanya mendapatkan 'jatah sebagai wakil presiden, seperti Bung Hatta, Umar Wirahadikusumah, Adam Malik, Hamzah Haz, dan Jusuf Kalla.

Satu-satunya orang Sunda yang tercatat pernah menempati posisi Wakil Presiden Indonesia adalah Umar Wirahadikusumah. Pria kelahiran Sumedang tersebut merupakan Wapres ke-4 RI di era kepemimpinan Presiden Soeharto. Pertanyaannya, mengapa tidak ada orang dari etnis Sunda yang menjadi presiden?

Mantan rektor Universitas Padjadjaran Prof Dr Gandjar Kurnia DEA pernah menjabarkan alasan mengapa Orang Sunda sulit menjadi Presiden. Menurut dia, terlalu jauh jika masyarakat Sunda menuntut menjadi Presiden Republik Indonesia. Sebab, pada kenyataannya, mereka belum memperlihatkan prestasi yang menonjol dalam memimpin wilayah sendiri.

"Gubernur Jabar orang Sunda, para bupati dan wali kota di Jabar umumnya juga orang Sunda. Tapi mengapa kita begini terus? Kondisi alam kita terus mengalami penurunan," katanya dalam "focused group discussion" di Kampus Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung, seperti diberitakan Republika.

Dia sepakat dengan MAW Brouwer yang mengatakan Tuhan menciptakan tatar Parahyangan dalam keadaan tersenyum. Sebab, kawasan ini memang sangat indah dan subur. Namun, sayang, tatar Pasundan saat ini rusak parah.

"Hutan lindung di Jawa Barat hampir lenyap. Pada musim hujan, sebagian besar wilayah ini banjir. Sebaliknya, di musim kemarau, mereka tak memiliki simpanan air. Sungai yang besar tercemar, sedangkan sungai kecil tak lagi berbekas," katanya.

undefined

Ia juga mengkritisi masyarakat di mana-mana membuang sampah ke selokan. Budaya bersih belum menjadi milik warga Pasundan. 

"Parahnya, sawah di daerah Rancaekek seperti telaga warna. Saat tertentu, air sawah berwarna biru, di saat yang lain kuning, berikutnya, merah dan seterusnya. Semua warna partai ada di sawah di Rancaekek," gurau Gandjar Kurnia.

Dalam paparannya bertema "Masyarakat Sunda dengan Alamnya" Gandjar mengemukakan, menuju masyarakat yang maju, adil dan makmur harus didukung oleh lingkungan yang kondusif. Sementara alam lingkungan di Tatar Pasundan semakin tidak kondusif menciptakan situasi terbaik itu.

"Bisa jadi, kalau Albert Einstein lahir di Tatar Pasundan, ia bukan jadi ahli fisika dan jadi pemikir hebat, melainkan sekadar jadi tukang bikin peuyeum (tape). Sebab, besar kecilnya pemikiran seseorang sangat bergantung pada lingkungan sekitar yang menciptakannya," kata Gandjar.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement