Senin 17 Feb 2025 17:07 WIB

Jaksa jadi Koordinator Seluruh Perkara, Mantan Ketua MK: Bisa Dipertimbangkan

Penyidik khusus lembaga bisa cepat dalam penyelesaian perkara.

Ketua Mahkamah Konstitusi periode 2013-2015 Hamdan Zoelva, menilai kejaksaan bisa dipertimbangkan menjadi koordinator dalam proses penyidikan seluruh perkara.
Foto: Surya Dinata/RepublikaTV
Ketua Mahkamah Konstitusi periode 2013-2015 Hamdan Zoelva, menilai kejaksaan bisa dipertimbangkan menjadi koordinator dalam proses penyidikan seluruh perkara.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Mantan ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Hamdan Zoelva, menilai, gagasan menjadikan jaksa sebagai koordinator dalam proses penyidikan seluruh perkara perlu di pikirkan kembali. Hal ini bisa menjadi salah satu solusi mengatasi sistem peradilan pidana terpadu, untuk efektivitas dalam penegakan hukum dan keadilan.

Sistem Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang menghendaki penyidik Polri sebagai penyidik tunggal, menurut Hamdan, dalam pelaksanaannya ternyata tidak berjalan baik sebagaimana di harapkan.

Justru sekarang ini, kata Hamdan, berkembang penyidik-penyidik khusus yang lebih cepat dalam penyelesaian perkara. Contohnya penyidiki pada OJK, Pajak, lingkungan dan lain-lain. “Justru penyidik-penyidik khusus itu akan lebih cepat menyelesaikan perkara jika langsung berhubungan dengan kejaksaan sebagai pentutut,” ungkap Hamdan.

Dengan posisi itu, Hamdan setuju jika dilakukan evaluasi menyeluruh atas sistem peradilan pidana terpadu yang telah berlangsung selama lebih dari 40 tahun berdasarkan KUHAP. Menurutnya, menjadikan Jaksa sebagai koordinator dalam proses penyidikan seluruh perkara, bisa menjadi solusi alternatif.

Sebelumnya, pakar hukum Suparji Ahmad, menilai, dengan konsep KUHAP (UU No. 8 Tahun 1981) yang menganut prinsip deferensial fungsional, setelah, 43 tahun berlaku, baru terasa saat ini bahwa Aparat Penegak Hukum (APH) itu terkotak-kotak dalam kinerjanya.

Hal itu, kata Suparji, tidak mencerminkan sistem peradilan pidana terpadu (integrated criminal justice system) yang diharapkan. Akibatnya tidak tercapai apa yang diharapkan karena terganggunya sinkronisasi dan harmonisasi kinerja APH.

“Contohnya, dan ini hanya contoh teoris saja, apabila terjadi rekayasa berkas perkara dalam proses penyidikan, maka Jaksa tidak bakal tahu karena menurut KUHAP, Jaksa hanya membaca apa yang ada di berkas perkara. Seandainya itu benar-benar terjadi maka yang dirugikan adalah para pencari keadilan,” ungkap Suparji.

Menurut Suparji, sebenarnya kejaksaan tidak akan pernah memperluas kewenangan atau bahkan mengambil kewenangan lembaga lain. Namun hal yang harus didorong adalah perubahan paradigma dalam mekanisme kerja antara Penyidik dan Jaksa.

“Jika dulunya antara Penyidik dan Jaksa bekerja secara terpisah, menjadi Penyidik dan Jaksa bekerja bersama-sama dalam menegakkan hukum pidana,” jelasnya.

Kondisi kerja yang kolaboratif antara Penyidik dan Jaksa inilah, menurut Suparji, yang harus diatur secara jelas dalam KUHAP mendatang. Menurutnya, Penyidik dan Jaksa adalah lembaga yang ada dalam satu rumpun eksekutif. Sehingga organ kelengkapan di dalamnya tidak boleh terkotak-kotak.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement