Selasa 18 Feb 2025 14:05 WIB

Peneliti UI Minta Satgas Penertiban Kawasan Hutan tidak Membabi Buta

Lahan sawit yang ada saat ini kebanyakan warisan dari zaman Presiden Soeharto.

Rep: Antara/ Red: Erik Purnama Putra
Foto udara lahan perkebunan kelapa sawit skala besar dan  mangrove di kawasan penyangga Cagar Alam Hutan Bakau Pantai Timur Sumatra, Mendahara, Tanjungjabung Timur, Provinsi Jambi.
Foto: ANTARA/Wahdi Septiawan
Foto udara lahan perkebunan kelapa sawit skala besar dan mangrove di kawasan penyangga Cagar Alam Hutan Bakau Pantai Timur Sumatra, Mendahara, Tanjungjabung Timur, Provinsi Jambi.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 5 Tahun 2025 tentang Penertiban Kawasan Hutan sebaiknya tidak dijalankan tanpa melihat sejarah munculnya tumpang tindih lahan kepala sawit di kawasan hutan tersebut. Berjalannya kegiatan ekonomi di lahan sawit tersebut harus menjadi prioritas agar kebijakan yang diambil pemerintah tidak malah merugikan kepentingan masyarakat secara luas.

"Perpres ini tujuannya baik tapi jangan dijalankan secara membabi buta. Itu merugikan rakyat Indonesia sendiri," kata peneliti Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI), Eugenia Mardanugraha di Jakarta, Selasa (18/2/2025).

Baca Juga

Dia menyebut, penertiban lahan yang membabi berakibat buruk pada iklim investasi di Indonesia. "Misalnya membabi buta itu pokoknya semua pengusaha harus dipidana, harus membayar. Kalau cuma membayar saja sih bisa dihitung. Tapi misalkan dipaksa diambil lahannya terus bagaimana? Jangan sampai terjadi yang seperti begitu," ujar Eugenia.

Menurut dia, Satuan Tugas (Satgas) Penertiban Kawasan Hutan sebaiknya melakukan verifikasi lahan-lahan sawit tersebut secara detail sebelum melakukan penertiban. Hal tersebut penting dilakukan karena setiap lahan memiliki asal-usul sendiri-sendiri.

Eugenia menjelaskan, lahan sawit yang ada saat ini kebanyakan warisan dari zaman pemerintahan Presiden Soeharto. Saat itu, pemerintah Orde Baru mengundang para pengusaha untuk berinvestasi di industri kelapa sawit. Hanya saja, dokumentasi kepemilikan lahan kala itu tidak rapi seperti sekarang.

"Masalah administrasi pertanahan yang tidak beres tersebut dibiarkan hingga puluhan tahun hingga sekarang sehingga terjadi tumpang tindih, yang harusnya lahan kawasan hutan dijadikan perkebunan sawit," ujarnya.

Melihat proses tersebut, kata Eugenia, pemerintah diharapkan tidak mengambil alih begitu saja. Namun, harus melalui proses yang jelas dan berkeadilan. Apalagi, di atas lahan-lahan sawit tersebut rata-rata sudah ada kegiatan ekonomi yang melibatkan banyak pihak.

"Saya kurang setuju (direbut kembali). Mereka kan juga sudah berkontribusi untuk Indonesia. Dulunya hutan, ditanam sawit, sawitnya dijual. Multiplier ekonominya sudah besar," ucap anggota Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) tersebut

Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyebut dari total 16,38 juta hektare kebun kelapa sawit terdapat lebih kurang 3,3 juta hektare lahan berada di dalam kawasan hutan. Karena itu, Eugenia mengusulkan agar pemerintah bermusyawarah dengan seluruh stake holder di industri sawit untuk menemukan jalan terbaik.

Kalau misalnya ada sanksi denda, hal tersebut bisa dilakukan dengan perhitungan yang jelas. "Intinya jangan sampai menjadi lahan kosong yang tidak ada nilai ekonominya karena diambil alih oleh pemerintah. Jangan sampai nilai ekonominya turun," ucap Eugenia.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Terkait
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement