REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Ekonom Senior sekaligus mantan Menteri Keuangan periode 2013—2014 Chatib Basri mengungkapkan ada peluang bagi Indonesia dalam menarik investasi di tengah kondisi ketidakpastian global dan perang dagang. Kondisi global disinyalir akan membuat para investor terdesak untuk memilih negara dengan relative return yang lebih menjanjikan, seperti Indonesia.
Hal itu diungkapkan oleh Chatib dalam agenda SMBC Indonesia Economic Outlook 2025 yang digelar di Jakarta, Selasa (18/2/2025). Chatib menjelaskan secara umum mengenai dampak global terhadap perekonomian Indonesia, di antaranya mengenai kebijakan Presiden AS Donald Trump soal tarif, tax card, hingga deportasi.
Chatib menerangkan, 52 persen dari industri manufaktur di AS bahan baku dan barang modalnya datang dari impor, sehingga jika Trump menerapkan kebijakan tarif berapapun akan membuat biaya produksi meningkat. Dampak dari itu adalah terjadi inflasi yang tinggi. “Di dalam kondisi higher inflation ini saya melihat kemungkinan The Fed menurunkan suku bunganya relatif kecil,” ujar dia.
Terkait tax card, Chatib menilai kebijakan itu berimplikasi terhadap meningkatnya defisit anggaran AS. Jika itu terjadi, AS harus dibiayai dengan utang, caranya adalah dengan mengeluarkan obligasi. Akibatnya, suplai obligasi akan meningkat dan jika itu terjadi maka harganya akan turun dan imbal hasilnya akan meningkat. “Kondisi ini semakin sulit bagi The Fed untuk menurunkan suku bunga,” ujarnya.
Adapun yang ketiga yakni kebijakan deportasi. Ini sudah mulai dilakukan oleh Trump, terutama yang disebut sebagai undocumented worker. Padahal, sebagian besar posisi yang disebut unskilled labour didominasi oleh kalangan ini, sehingga jika kelompok ini dideportasi, harus diisi oleh kelompok lain yang tingkat upahnya lebih tinggi. Maka implikasinya, inflasi di AS akan mengalami peningkatan karena suplai pasar tenaga kerjanya berkurang.
“Dalam kondisi ini, kita akan menyimpulkan last likely bahwa The Fed bisa menurunkan suku bunga, yang terjadi malah kenaikan bunga,” ungkapnya.
Jika tingkat suku bunga di AS mengalami peningkatan, itu akan mengakibatkan kondisi strong dolar. Sehingga nilai tukar rupiah terhadap dolar AS akan mengalami peningkatan. Saat ini, nilai tukar rupiah sudah berada di angka Rp 16.300 per dolar AS.
Chatib mengatakan bahwa banyak negara yang basis produksinya ada di China, harus berpindah ke negara lain saat terjadi perang dagang, agar memperoleh akses untuk pasar AS. Di situlah Indonesia bisa ‘cari panggung’.
“Apakah akan lari ke Vietnam? Jawabannya iya. Tapi jangan lupa bahwa surplus dagang Vietnam dengan AS itu 118 miliar dolar AS, sedangkan Indonesia 19 miliar dolar AS. Jadi kalau Trump menargetkan negara yang punya surplus, Vietnam akan kena terlebih dahulu, kalau dia kenakan 10 persen maka realokasinya akan pindah ke Indonesia,” ujar dia.
Peluang bagi Indonesia untuk jadi tujuan investasi dinilai nampak jelas atas kondisi tersebut. Secara gamblang, Chatib menilai sebenarnya hal itu bukan karena Indonesia merupakan negara yang atraktif dalam investasi, tapi memang para investor perlu mencari risiko yang lebih kecil.
“Ini bukan karena Indonesia negara yang sempurna, tetapi dia (investor) harus mendiversifikasi risikonya,” kata Chatib.