Rabu 19 Feb 2025 07:05 WIB

LPEM UI Sebut Bank Indonesia Masih Perlu Tahan Suku Bunga

Ia menuturkan bahwa saat ini nilai tukar rupiah masih bergerak fluktuatif.

Layar menampilkan logo Bank Indonesia (BI).
Foto: ANTARA/Hafidz Mubarak A
Layar menampilkan logo Bank Indonesia (BI).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Indonesia (UI) menyatakan bahwa Bank Indonesia (BI) perlu menahan suku bunga acuannya di level 5,75 persen dalam Rapat Dewan Gubernur pada Februari 2025. Ekonom LPEM UI Teuku Riefky menuturkan bahwa langkah tersebut perlu dilakukan untuk memitigasi dampak dari perekonomian dan geopolitik global serta pergerakan rupiah yang masih fluktuatif terhadap perkembangan ekonomi nasional.

Ia menyampaikan bahwa tekanan perekonomian global salah satunya disebabkan oleh berbagai kebijakan yang diterapkan oleh Presiden Amerika Serikat Donald Trump. Berbagai kebijakan tersebut antara lain pengetatan arus migrasi yang berpotensi mengetatkan pasar tenaga kerja AS, pemotongan pajak korporasi, dan berbagai tarif impor, yang secara keseluruhan berpotensi meningkatkan inflasi AS dan memicu ketidakpastian global.

Baca Juga

“Kombinasi ketiga faktor ini berperan besar dalam pergerakan arus modal di Indonesia dan nilai tukar Rupiah dalam beberapa minggu belakangan,” katanya.

Riefky mengatakan bahwa faktor lainnya yang dapat memengaruhi perekonomian domestik adalah tingkat inflasi yang pada Januari 2025 tercatat sebesar 0,76 persen year-on-year (yoy).

Meskipun saat ini tingkat inflasi masih berada di kisaran batas bawah target BI, tapi Indonesia sebentar lagi akan memasuki periode Ramadhan dan Idul Fitri, yang umumnya akan mendatangkan tekanan inflasi.

“Periode mendekati bulan Ramadan diperkirakan akan meningkatkan permintaan dan mendorong harga menjadi lebih tinggi. Indeks Ekspektasi Harga Umum (IEH) untuk Maret 2025 tercatat sebesar 179,0, naik dari 160,2 pada periode sebelumnya,” jelasnya.

Riefky menyatakan bahwa tekanan inflasi juga datang dari kenaikan harga akibat penyesuaian harga komoditas global seiring dengan kebijakan tarif impor Amerika Serikat terhadap Tiongkok, Meksiko, dan Kanada. Selain itu, penguatan dolar AS menambah risiko terhadap fluktuasi rupiah sehingga memperburuk ancaman inflasi impor.

Ia menuturkan bahwa saat ini nilai tukar rupiah masih bergerak fluktuatif walaupun sedikit menguat. Kurs rupiah sempat menguat dari Rp 16.360 pada 17 Januari menjadi Rp 16.170 pada 24 Januari.

Namun, pasca keputusan bank sentral Amerika Serikat, The Fed, yang menahan suku bunga kebijakannya, nilai tukar rupiah sempat melemah ke level Rp 16.430 pada awal Februari.

Berlanjutnya negosiasi penerapan tarif impor oleh Presiden Trump pada minggu awal Februari mendorong pelemahan dolar AS, sehingga rupiah menguat mencapai Rp16.255 pada 14 Februari. Secara keseluruhan, rupiah terdepresiasi secara year-to-date (ytd) sebesar 1,03 persen.

“Mempertimbangkan berbagai aspek tersebut, kami berpandangan bahwa Bank Indonesia perlu menahan suku bunga acuannya di 5,75 persen pada Rapat Dewan Gubernur di Februari ini,” ujar Teuku Riefky.

sumber : Antara
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement