Rabu 19 Feb 2025 15:27 WIB

Freeport: Penerimaan Negara Bisa Turun Rp 65 Triliun Bila tak Ekspor

Hilangnya pendapatan negara karena jutaan konsentrat tidak dapat dimurnikan.

Pekerja berjalan di lokasi Smelter PT Freeport Indonesia (PTFI), Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Gresik, Jawa Timur, Kamis (6/2/2025). Fasilitas Smelter PTFI yang mengalami kebakaran pada Senin 14 Oktober 2024 tersebut direncanakan mulai beroperasi kembali pada akhir Juni 2025 dan secara bertahap akan mencapai tingkat produksi 100 persen pada akhir tahun 2025.
Foto: ANTARA FOTO/Rizal Hanafi
Pekerja berjalan di lokasi Smelter PT Freeport Indonesia (PTFI), Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Gresik, Jawa Timur, Kamis (6/2/2025). Fasilitas Smelter PTFI yang mengalami kebakaran pada Senin 14 Oktober 2024 tersebut direncanakan mulai beroperasi kembali pada akhir Juni 2025 dan secara bertahap akan mencapai tingkat produksi 100 persen pada akhir tahun 2025.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Presiden Direktur (Presdir) PT Freeport Indonesia (PTFI) Tony Wenas menyampaikan salah satu dampak finansial apabila tidak ada ekspor konsentrat adalah turunnya pendapatan negara sekitar 4 miliar dolar AS atau sekitar Rp 65 triliun. Hilangnya potensi ini disebabkan oleh tidak adanya pemurnian konsentrat.

“Pendapatan negara berupa biaya keluar, royalti, dividen, pajak perseroan badan, itu akan bisa (hilang) mencapai 4 miliar dolar AS atau sekitar Rp 65 triliun,” ujar Tony dalam rapat dengar pendapat (RDP) dengan Komisi XII DPR, di Jakarta, Rabu (19/2/2025).

Baca Juga

Hilangnya pendapatan negara tersebut disebabkan oleh 1,5 juta dry metric ton (dmt) konsentrat yang tidak dapat dimurnikan di dalam negeri, karena dampak terhentinya operasi smelter PT Freeport Indonesia (PTFI) di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Gresik, Jawa Timur.

“Dan kalau kita nilai dengan harga yang sekarang ini, itu nilainya bisa lebih dari 5 miliar dolar AS,” kata Tony.

Operasi smelter Gresik dihentikan sejak 14 Oktober sebagai dampak dari insiden kebakaran yang terjadi, yang mana merupakan keadaan kahar (keadaan memaksa/force majeure).

Dampaknya, konsentrat PTFI yang diproduksi di Papua hanya 40 persen yang bisa dikonsumsi oleh PT Smelting di Gresik.

Selain hilangnya penerimaan negara, Tony juga menjelaskan dampak lainnya dari tidak adanya ekspor konsentrat oleh Freeport adalah potensi hilangnya pendapatan daerah terdampak, yakni Papua Tengah.

“Apabila kami tidak bisa melakukan ekspor, dampaknya untuk Provinsi Papua Tengah kira-kira Rp 1,3 triliun, Kabupaten Mimika Rp 2,3 triliun, dan kabupaten lain di Papua Tengah sekitar Rp 2 triliun. Totalnya Rp 5,6 triliun,” ujar Tony pula.

Lebih lanjut, Tony juga menjelaskan terdapat kemungkinan berkurangnya alokasi dana kemitraan PTFI untuk program pengembangan masyarakat sebesar 60 juta dolar AS atau Rp 960 miliar pada tahun 2025.

Dana tersebut otomatis berkurang, sebab berkurangnya pemasukan perusahaan apabila tidak melakukan ekspor konsentrat.

“Dana kemitraan yang untuk pengembangan masyarakat itu jumlahnya 1 persen dari revenue akan juga berkurang dengan sekitar, kira-kira hampir Rp 1 triliun,” kata Tony.

Oleh karena itu, sesuai dengan IUPK PTFI yang berlaku, Tony meminta agar konsentrat dapat diekspor apabila terjadi keadaan kahar. “Namun, diperlukan penyesuaian Permen ESDM untuk mengatur ekspor, karena keadaan kahar ini,” ujarnya pula.

 

sumber : Antara
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement