Kamis 20 Feb 2025 15:50 WIB

Terkait Donald Trump dan Gaza, Hassan Wirajuda: Dia Jagoan Deal Maker

Hassan Wirajuda mengimbau berbagai pihak jangan cepat beraksi soal Donald Trump.

Mantan Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda.
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Mantan Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda.

REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING -- Mantan Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda mengatakan pemerintah Indonesia tidak perlu cepat bereaksi terhadap ucapan Presiden Amerika Serikat Donald Trump.

"Jangan cepat-cepat bereaksi terhadap apa pun ucapan Presiden Trump karena dia adalah jagoan 'deal maker'. Dia menuntut semaksimal mungkin tapi kalau ada tantangan atau penolakan maka dengan mudah mengubah pendapatnya," kata Hassan Wirajuda kepada ANTARA di Beijing, Rabu (19/2).

Baca Juga

Hassan mencontohkan, sebelum dilantik, Trump mengatakan akan menerapkan tarif tambahan ke China sebanyak 100 persen tapi kenyataannya setelah dilantik, pemerintah AS hanya menerapkan tarif tambahan 10 persen ke barang-barang asal China.

Malah Trump memberlakukan tarif impor sebesar 25 persen terhadap Kanada dan Meksiko meski hal itu juga ditunda selama satu bulan setelah kedua negara tetangga AS itu berjanji untuk meningkatkan keamanan perbatasan.

Usulan lain dari Trump yang tidak perlu buru-buru ditanggapi, menurut Hassan, adalah ucapannya soal pemindahan penduduk Palestina di Jalur Gaza ke Mesir dan Yordania serta keinginannya mengembangkan ekonomi wilayah kantong Palestina itu sebagai "Riviera" di Timur Tengah sehingga menjadi rumah bagi masyarakat dunia.

"Tapi apakah itu akan terwujud? Mudah-mudahan tidak karena banyak faktor terkait misalnya menyangkut kedaulatan, yurisdiksi negara lain, dan aturan internasional sehingga jangan tergesa-gesa. Lihat saja enam bulan ke depan, apa saja yang benar-benar dilaksanakan Trump," ungkap Hassan.

Namun Hassan juga menyebut Trump bersifat nasionalistik dan ekspansionis sehingga Pemerintah RI perlu waspada tapi juga jangan buru-buru bertindak.

"Di tengah dunia yang tidak pasti ini maka harus memperkuat ketahanan regional, 'East Asia Community' yang serius perlu dilanjutkan karena kalau satu kawasan terpecah maka mudah sekali aktor luar masuk dan akan mudah diacak-acak pihak luar," kata Hassan.

Di tengah rivalitas AS-China, menurut Hassan, memang tidak mudah memposisikan diri karena kompetisi dua negara tersebut bukan hanya di bidang ekonomi melainkan juga perang teknologi, militer hingga masalah luar angkasa.

"Bahkan bila tambahan tarif bisa dicari jalan tengah, tapi kompetisi bidang lain belum tentu selesai maka akan jadi persoalan panjang ke depan. Karena itu perlu kerja keras di kawasan untuk menciptakan ketahanan regional," kata Hassan menambahkan.

Dengan politik luar negeri bebas aktif, Indonesia punya kekuatan moderasi.

"Indonesia punya kemampuan dalam bahasa kerennya 'confining power' untuk mengajak pihak yang berseteru duduk bersama dalam lingkungan kita. Misalnya pertemuan Presiden Joe Biden dan Presiden Xi Jinping saat G20 di Bali. Indonesia ingin mengurangi ketegangan sekaligus memoderasi ketegangan mereka," kata Hassan.

Dengan melakukan hal tersebut, Indonesia dapat menjadi kekuatan moderasi (the force of moderation) untuk konflik terbuka.

sumber : Antara
Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement