REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Di antara bentuk-bentuk adab islami ialah memuliakan ilmu. Ini pun berlaku bagi pemimpin atau penguasa.
Islam mengajarkan bahwa sudah sepantasnya seorang penguasa mendatangi ulama atau majelis-majelis ilmu. Bukan sebaliknya, yakni ulama yang justru mendatangi penguasa---apalagi dengan iming-iming pamrih duniawi.
Dalam sebuah hadis riwayat Dailami, yang diperoleh dari Umar bin Khattab, Nabi Muhammad SAW diketahui bersabda, “Sungguh Allah mencintai penguasa yang mendatangi ulama. Dia (Allah) membenci jika ulama yang mendekati penguasa. Sebab, ketika ulama mendekati penguasa, maka yang diinginkannya urusan dunia. Bila penguasa yang mendekati ulama, maka yang diinginkannya urusan akhirat.”
Dalam konteks keumatan, ulama dan umara masing-masing berperan penting. Keduanya begfitu sentral dalam menjadikan suatu negeri yang ideal: “baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur” (QS Saba: 15).
Karena itu, hendaknya seorang pemimpin menyadari bahwa posisinya adalah di bawah ulama. Sehingga, ia tidak sungkan mendatangi majelis-majelis ilmu dengan hati yang tunduk mengharap ampunan Illahi. Janganlah sebaliknya, yakni ulama seperti diseret-seret ke dalam urusan duniawi, termasuk ambisi kekuasaan.
Kemudian, seorang ulama pun dapat memberi nasihat yang jelas. Surah al-Baqarah ayat 42 menjadi panduannya: “Janganlah kalian campur-adukkan antara kebenaran dan batil (kemungkaran), dan kalian sembunyikan yang benar, padahal kalian mengetahuinya.”
View this post on Instagram
Tak terbujuk jabatan