REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Dewan Pers, Kamis (20/2/2025), menyelenggarakan Konvensi Nasional Media Massa 2025 di Gedung Dewan Pers, Jakarta. Konvensi mengangkat tema "Disrupsi Berganda Terhadap Media Massa".
Dalam sambutannya, Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu mengatakan disrupsi ganda sedang melanda media massa di Tanah Air. Karenanya, media massa perlu mengimbangi dengan memanfaatkan berbagai peluang baru sekaligus membenahi kualitas.
"Tetap berpangku pada karya-karya jurnalistik yang berkualitas. Era disrupsi di satu sisi memudahkan masyarakat untuk memperoleh informasi, tapi di sisi yang lain masyarakat juga mendapatkan dampak yang tidak baik-baik saja," kata Ninik.
Ninik mengharapkan terjadi keterlibatan multi pemangku kepentingan. Ini sebagai upaya dalam menegakkan demokrasi melalui pers.
"Bersama-sama mencari solusi terhadap kondisi global dan nasional terhadap pers. Sekaligus bagaimana dampak perkembangan teknologi digital dan AI terhadap industri media," katanya.
Sejumlah tokoh hadir sebagai pembicara dalam seminar ini. Di antaranya yaitu Executive Chairman MNC Group Hary Tanoesoedibjo, Komisioner KPI Pusat I Made Sunarsa, dan dosen Universitas Multimedia Nusantara (UMN) Ignatius Haryanto.
Dalam paparannya, Hary menyebut pers nasional sedang mengalami degradasi saat ini. Dia mendesak pemerintah dan Dewan Pers membuat aturan guna memperkuat iklim media.
"Saya ingin mengatakan Pers mengalami degradasi yang sangat luar biasa. Kita ingin Pers kita berperan sebagai penyuara publik, dalam kaitannya dengan demokrasi. Tapi peranan Pers kita makin kecil," kata Hary.
Hary mengatakan, rasio publik menerima informasi dari media sosial sangat besar ketimbang menikmati konten di media konvensional seperti TV, radio maupun siber.
"Itu kurang lebih sekitar 75-25 atau mungkin 80-20. Jadi artinya masyarakat kita itu memperoleh informasi itu 80 persen justru dari media sosial asing. 20 persen memperoleh informasi dari jurnalistik yang benar. Dulu koran, sekarang ganti ke portal," katanya.
"Jadi dari sini saya bisa katakan peranan kita ini semakin kecil dan ini akan berlanjut, karena asing-asing ini kan modal besar, mereka lebih efisien, ada di mana-mana, dan banyak dari mereka juga mungkin enggak banyak pajak juga karena kan iklannya programatik langsung di luar negeri, kalau kita kan harus bayar pajak," imbuhnya.
Menurut Hary, hal itu berdampak pada sisi komersial media. Pendapatan media dari sisi iklan telah mengalami penurunan akibat adanya dominasi media sosial yang terafiliasi asing.
Sementara soal tantangan penggunaan AI dalam industri media massa, Ignatius Haryanto mengatakan bahwa teknologi tak bisa dihalangi. Namun, insan pers mesti menyadari bahwa AI adalah alat bantu.
"Manusia harus berada di atas mesin," ujar Ignatius.
Sehingga, Ignatius mendukung pedoman penggunaan AI dalam jurnalistik oleh Dewan Pers. Dan, media massa harus transparan memberitahu publik bahwa ada produknya yang menggunakan teknologi AI. Hal ini akan membuat media massa dipercaya oleh publik.