REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Hati adalah unsur yang paling penting dalam ajaran Islam, bahwa yang dinilai dari urusan-urusan dalam masalah agama adalah intinya, bukan kulitnya; hakikatnya, bukan bentuknya, dan hatinya bukan badan atau lisannya. Dalam hadis lain Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya Allah tidak melihat bentuk dan harta kalian, tetapi Dia melihat pada hati dan amal kalian."
Adalah benar bahwa Allah memberikan ganjaran kepada setiap hambanya yang berniat melakukan kebajikan. Dia pun belum memberikan catatan keburukan pada orang yang hanya dalam hatinya berniat melakukan kejahatan.
Namun, dalam tataran pelaksanaan, sudah jelas. Allah akan menilai apa-apa yang diperbuat seseorang sebagai balasan dan bekal di hari kemudian. Apalagi, bila perbuatan tersebut menyangkut urusan umum atau publik. Dalam hal ini, tidak lagi sekadar menilai hati si pelaku, tetapi juga bagaimana dampak yang ditimbulkan akibat perbuatannya tersebut.
Sahl bin Sa'ad berkata bahwa ada seorang lelaki lewat di hadapan Nabi Muhammad SAW. Kemudian, beliau bertanya pada sahabat yang duduk di sebelahnya, "Apa pendapatmu tentang orang ini?"
Sahabat itu berkata, "Seorang lelaki dari golongan terhormat. Demi Allah, orang ini sangat layak untuk dinikahkan jika dia melamar, dan diberi pertolongan jika dia meminta pertolongan."
View this post on Instagram
Rasulullah pun diam. Kemudian lewat lagi seorang laik-laki. Beliau kembali bertanya, "Apa pendapatmu tentang orang ini?"
Sahabat itu berkata, "Wahai Rasulullah, orang ini adalah salah seorang Muslim yang fakir. Dia ini layak untuk ditolak jika melamar. Jika meminta pertolongan, tidak perlu diberi, dan jika berbicara, layak untuk tidak didengarkan."
Maka Rasulullah SAW bersabda, "Orang ini jauh lebih baik daripada yang tadi (orang yang pertama kali lewat)."