REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- PT Bank Tabungan Negara Tbk (BTN) optimistis aset akan menembus Rp 500 triliun pada akhir tahun 2025. Hingga akhir 2024, aset perseroan telah tercatat sebesar Rp 469,61 triliun.
Direktur Utama BTN Nixon LP Napitupulu menyampaikan, di tengah dinamika makroekonomi, perseroan telah menyiapkan berbagai inisiatif strategis untuk going beyond mortgage dengan solusi perbankan yang komprehensif pada 2025, sebagai upaya menciptakan pertumbuhan bisnis yang lebih berkelanjutan, sehat, dan solid.
“Optimisme kami juga didorong oleh komitmen pemerintah untuk menyediakan hunian layak dan terjangkau kepada seluruh rakyat Indonesia melalui Program Tiga Juta Rumah,” ujar Nixon sebagaimana keterangan resmi di Jakarta, dikutip Sabtu (22/2/2025).
Ia menyampaikan keyakinan aset akan menembus Rp 500 triliun bakal ditopang oleh pertumbuhan kredit dan dana pihak ketiga (DPK) yang solid. Penyaluran kredit dan pembiayaan perseroan tercatat sebesar Rp 357,97 triliun selama 2024, atau tumbuh 7,3 persen year on year (yoy) dibandingkan sebesar Rp 333,69 triliun pada periode sama tahun 2023.
"Penyaluran kredit pada 2024 terutama didorong oleh bisnis KPR, baik subsidi maupun nonsubsidi seiring dengan permintaan yang terus meningkat terhadap kepemilikan rumah," ujar Nixon.
Penyaluran KPR Subsidi BTN mencapai Rp 173,84 triliun pada akhir 2024 atau naik 7,5 persen (yoy) dibandingkan tahun 2023, sementara, KPR Non Subsidi BTN bertumbuh 10,2 persen (yoy) menjadi Rp 105,95 triliun pada akhir 2024.
Pada akhir 2024, perseroan juga membukukan pertumbuhan di segmen kredit bermargin tinggi (high yield loans) yaitu Kredit Usaha Rakyat (KUR), Kredit Agunan Rumah (KAR), dan Kredit Ringan (KRING) yang tumbuh13,9 persen (yoy) menjadi Rp 16,4 triliun.
"Pertumbuhan itu ditopang oleh beberapa inisiatif, di antaranya seperti kerja sama dengan institusi keuangan non bank untuk KUR, meningkatkan layanan payroll untuk KRING, serta cross-selling melalui beberapa nasabah institusi utama BTN untuk KAR," ujarnya.
Nixon melanjutkan, perseroan juga menjaga kualitas penyaluran kredit dengan penerapan prinsip kehati-hatian dan manajemen risiko, sehingga rasio kredit bermasalah atau Non Performing Loan (NPL) gross tercatat di level 3,16 persen, dan diyakini akan terus menurun ke level di bawah 3 persen pada 2025.
“Kami menerapkan teknologi untuk menerapkan manajemen risiko yang terintegrasi dan ketat dalam rangka menurunkan NPL ke level yang lebih sustainable,” ujar Nixon.