REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Danantara akan diluncurkan secara resmi hari ini pada Senin (24/2/2025) pada pukul 10.00 WIB di Istana Negara, Jakarta. Presiden RI Prabowo Subianto akan memimpin langsung peluncuran Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara sekaligus mengumumkan siapa saja para pemimpin yang akan mengelolanya.
Peluncuran Danantara menandai era baru dalam strategi investasi nasional. Chief Economist The Indonesia Economic Intelligence (IEI), Sunarsip, menilai kehadiran Danantara dapat menjadi pilar utama dalam optimalisasi sumber daya negara, khususnya yang dikelola oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Namun, tantangan dalam harmonisasi kebijakan fiskal dan investasi menjadi perhatian utama. Terlebih, peluncuran Danantara beriringan dengan revisi Undang-Undang BUMN yang baru saja disahkan DPR pada Februari 2025. Regulasi ini memperjelas hubungan antara Danantara, Kementerian BUMN, dan Kementerian Keuangan, serta memperkenalkan Business Judgement Rule (BJR) dalam pengelolaan investasi BUMN.
“Hampir dapat dikatakan strategi investasi melalui Danantara adalah langkah positif. Namun, pengelolaan ekonomi tidak hanya sebatas investasi dan pertumbuhan ekonomi," ujar Sunarsip dalam keterangan yang diterima Republika, Senin (24/2/2025).
Diketahui, gagasan pembentukan superholding company (SHC) bagi BUMN telah lama dibahas sejak 2007. Model seperti Khazanah Nasional Malaysia, Temasek Holdings Singapura, hingga SASAC China menjadi referensi utama dalam merancang Danantara. Namun, berbeda dengan Temasek dan Khazanah yang berbentuk limited company, Danantara tetap merupakan badan pemerintah, yang membuka peluang intervensi politik melalui DPR.
Sunarsip menilai Danantara sebaiknya mengadopsi model investasi China, di mana laba BUMN sepenuhnya diinvestasikan kembali untuk memperbesar skala usaha dan meningkatkan kontribusi ekonomi. Namun, pendekatan ini berpotensi mengurangi pemasukan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) hingga Rp 85 triliun per tahun.
“Pemerintah perlu menyeimbangkan antara pembentukan kapital (i) dengan kesejahteraan (welfare),” tambahnya.
View this post on Instagram
Untuk menjaga keseimbangan ini, ia mengusulkan struktur Two-Tier dalam kebijakan dividen BUMN. Skema ini mencakup komponen tetap yang dialokasikan ke APBN serta komponen variabel yang dapat digunakan untuk investasi Danantara dan investor publik.
Sebagai perbandingan, sebelum SASAC didirikan pada 2003, China menerapkan kebijakan dividen nol persen agar keuntungan BUMN bisa direinvestasikan sepenuhnya. Pendekatan ini memungkinkan pertumbuhan ekonomi lebih dari 8 persen dalam dua dekade sejak 1990-an. Namun, setelah privatisasi BUMN di China, kebijakan dividen berubah untuk menarik minat investor publik. Indonesia dapat mempertimbangkan model serupa, tetapi tetap harus menjaga stabilitas fiskal negara.
Selain itu, Sunarsip menekankan pentingnya mengevaluasi efektivitas Indonesia Investment Authority (INA) sebelum Danantara mulai beroperasi penuh. Jika INA belum memberikan kontribusi signifikan bagi pertumbuhan ekonomi, Danantara harus menerapkan strategi yang lebih efektif agar tidak hanya menjadi birokrasi tambahan dalam pengelolaan investasi negara.
Ia juga mengingatkan bahwa meskipun Danantara memiliki potensi besar, tata kelola yang transparan dan akuntabel tetap menjadi faktor krusial dalam keberhasilannya. “Hukum tetap memiliki kewenangan menyentuh kerugian BUMN apabila kerugian tersebut terbukti, misalnya karena kecurangan (fraud),” ujarnya.
