REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Nilai kerugian keuangan negara dalam skandal korupsi ekspor-impor minyak mentah dan produk kilang di PT Pertamina mencapai Rp 193,7 triliun sepanjang 2018-2023.
Kejaksaan Agung (Kejagung), pada Senin (24/2/2024) mengumumkan tujuh tersangka dari hasil penyidikan kasus tersebut. Para tersangka, empat di antaranya adalah para penyelenggara negara di PT Pertamina. Sedangkan tiga lainnya adalah para tersangka swasta.
Kepala Pusat Penerangan dan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung Harli Siregar menerangkan, angka kerugian negara Rp 193,7 triliun tersebut merupakan hasil sementara penghitungan dari tim penyidikan pada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus).
“Perlu diketahui bahwa nilai kerugian yang disebut (Rp) 193,7 T (triliun) itu baru dari hasil penghitungan tim penyidikan. Hasil akhirnya, nanti kita masih menunggu penghitungan resmi dari lembaga auditor negara (BPKP atau BPK),” ujar Harli di Kejagung, Senin (25/2/2025).
Direktur Penyidikan Jampidsus Abdul Qohar menerangkan, angka kerugian keuangan negara Rp 193,7 triliun tersebut memang hasil dari penghitungan tim penyidikannya. Nilai tersebut berdasarkan estimasi kerugian dari dampak ragam perbuatan permufakatan dan persekongkolan jahat, dan tindak pidana korupsi yang dilakukan tujuh tersangka tersebut.
Mulai dari permufakatan dan persekongkolan jahat untuk menolak menerima pembelian minyak mentah dan produk kilang dari hasil eksplorasi kontraktor kontrak kerjasama (KKKS). Sampai pada persekongkolan para tersangka untuk mengatur dan menentukan broker pemenang tender untuk impor minyak mentah dan produk kilang.
Selain itu juga perbuatan melawan hukum lainnya dalam hal pembayaran produk kilang impor RON 90 dengan harga RON 92. Kemudian terkait dengan korupsi berupa mark-up dalam penentuan harga pengapalan atau shipping minyak mentah, dan produk kilang impor. Termasuk kata Qohar, kerugian negara yang langsung dibebankan kepada APBN lewat kompensasi dan subsidi akibat tingginya harga bahan bakar minyak (BBM) dari produk impor tersebut.
“Akibat adanya perbuatan-perbuatan melawan hukum tersebut, telah mengakibatkan kerugian keuangan negara sekitar Rp 193,7 triliun,” ujar Qohar.
Dari angka tersebut, kata Qohar ada lima kategori kerugian keuangan negara. Pertama, kerugian negara ekspor minyak mentah dalam negeri sekitar Rp 35 triliun. Kerugian negara impor minyak mentah melalui broker atau DMUT senilai Rp 2,7 triliun. Ketiga, kerugian keuangan negara impor BBM melalui broker senilai Rp 9 triliun.
Paling besar angka kerugian keuangan negara dalam pemberian kompensasi Rp 126 triliun. Dan terakhir kerugian keuangan negara dalam pemberian subsidi sebesar Rp 21 triliun. Pada Senin (25/2/2025) dari penyidikan sementara, Jampidsus mengumumkan tujuh orang sebagai tersangka.
View this post on Instagram