REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Manipulasi bahan bakar minyak (BBM) beroktan 90 menjadi RON 92 merupakan salah-satu dari sekian modus dalam kasus dugaan korupsi ekspor-impor minyak mentah dan produk kilang di PT Pertamina yang dilakukan subholding PT Pertamina Patra Niaga. Pengoplosan bahan bakar murah beroktan rendah menjadi kelas nonsubsidi tersebut dijual ke pasaran sehingga merugikan hak-hak masyarakat dan konsumen.
Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung (Kejagung) Abdul Qohar menerangkan, rangkaian kegiatan manipulatif tersebut, dimulai dari hulu. Mulai dari pengadaan impor produk kilang berupa BBM RON 92 untuk pemenuhan kebutuhan di dalam negeri.
Namun, dalam pengadaan tersebut, BBM yang didatangkan adalah RON 90. Menurut Qohar, PT Pertamina Patra Niaga membayar BBM RON 90 yang diimpor tersebut dengan harga BBM RON 92. Perbuatan tersebut, kata Qohar dilakukan sepanjang 2018 sampai 2023.
“Itu salah-satu modusnya, yang saya katakan RON 90 ya, tetapi dibayarnya seharga RON 92,” ujar Qohar di Kejagung, Jakarta, Selasa (26/2/2025).
Menurut Qohar, dari BBM RON 90 impor tersebut, PT Pertamina Patra Niaga mengumpulkannya ke dalam storage atau depo. “Kemudian (BBM) di-blending, dicampur ya kan, dioplos,” ujar Qohar.
Modus lainnya, kata Qohar terkait dengan ragam penggondisian yang memunculkan kerugian negara mencapai Rp 193,7 triliun. “Ada modus yang sampai saat ini ditemukan oleh penyidik, pertama adalah adanya kerugian negara ekspor minyak mentah dalam negeri, yang saya sampaikan bagian dari K3S (KKKS-Kontraktor Kontrak Kerjasama),” ujar Qohar.
Kemudian kerugian negara akibat impor minyak mentah melalui DMUT atau broker. “Jadi pada saat yang sama bagian K3S itu dijual ke luar negeri dengan alasan harganya yang tidak masuk HPS (harga perkiraan sendiri). Kualitasnya tidak sama. Tapi pada saat yang sama, waktu yang sama, justru Pertamina mengimpor minyak mentah dari luar negeri,” ujar Qohar.
Ia melanjutkan, impor minyak mentah dari luar negeri tersebut merugikan keuangan negara. “Karena harganya (minyak mentah impor) tiga kali lebih tinggi dari pada minyak mentah yang diekspor,” ujar Qohar.
Selanjutnya, kata Qohar kerugian bahan bakar minyak melalui DMUT atau broker yang membuat harga beli bahan bakar di dalam negeri menjadi mahal. Sehingga membuat pemerintah mengharuskan pemberian kompensasi dan subsidi setiap pembelian BBM.
“Saya katakan akibat harga yang sangat tinggi, maka ketika minyak itu diolah menjadi barang jadi, atau minyak jadi, dijual kepada masyarakat harganya tentu tinggi. Ketika itu dijual kepada masyarakat, maka jelas masyarakat tidak mampu atau terlalu tinggi sehingga pemerintah turun tangan memberikan subsidi dan kompensasi,” ujar Qohar.