TAIPEI -- Kementerian Pertahanan (Kemenhan) Nasional Taiwan telah mengeluarkan tanggapan keras terhadap ancaman terbaru China, dengan peringatan sejarah telah membuktikan agresi dan ekspansi pada akhirnya akan berakhir dengan kegagalan. Pernyataan tersebut mengikuti pernyataan dari Kemenhan China, yang menegaskan kembali Taiwan pada akhirnya akan berada di bawah kendali Beijing.
Bahkan, Kemenhan China menyamakan perlawanan Taiwan itu dengan "belalang sembah yang mencoba menghentikan kereta perang." Taiwan sebagai negara demokrasi yang memiliki pemerintahan sendiri yang dianggap Beijing sebagai bagian dari wilayahnya, telah berulang kali menyuarakan kekhawatiran atas meningkatnya aktivitas militer China.
Pada pekan ini, pasukan militer China melakukan latihan di lepas pantai barat daya Taiwan, manuver yang digambarkan Beijing sebagai hal "rutin." Militer Taiwan menepis pernyataan itu dan menuduh China mengganggu keamanan regional dan bertindak sebagai pembuat onar terbesar di komunitas internasional.
Dalam sebuah pernyataan pada Jumat (28/2/2025), Kemenhan Taiwan menekankan pelajaran sejarah dari Perang Dunia II, dengan peringatan bahwa agresi militer secara historis telah menyebabkan kekalahan dan kegagalan. Taiwan pun mengutuk tindakan militer China yang meningkat, dengan menyatakan, kebijakan Beijing mengulang "kesalahan penjajah" dan mendorong negara itu menuju penghancuran diri.
Pemerintah Taiwan dengan tegas menolak klaim teritorial China, dengan menegaskan, hanya rakyat Taiwan yang dapat menentukan masa depan pulau itu. Presiden Lai Ching-te, berpidato pada acara peringatan di Taipei untuk pemberontakan 'Insiden 228' 1947, menegaskan kembali komitmen negaranya untuk mempertahankan kedaulatan dan demokrasinya.
Dilaporkan Defence Blog, Presiden Taiwan balik menuduh Beijing terus berupaya merebut negaranya dengan paksa, menekankan bahwa ancaman terbesar bagi penentuan nasib sendiri pulau itu tetaplah China. Masalah tersebut memiliki bobot sejarah yang dalam.
Peringatan 80 tahun berakhirnya Perang Dunia II diperingati pada 2025, sebuah konflik yang menjadikan China yang saat itu diperintah oleh pemerintahan Republik, sebagai peserta utama dalam perang melawan Kekaisaran Jepang.
Saat ini, Beijing sering kali meremehkan peran pasukan Republik dalam perang tersebut, karena pemerintah nasionalis melarikan diri ke Taiwan pada tahun 1949 setelah kalah dalam perang saudara melawan Komunis Mao Zedong.
Sementara itu, Presiden China Xi Jinping telah menerima undangan Rusia untuk menghadiri peringatan kemenangan Uni Soviet atas Nazi Jerman, yang menyoroti hubungan Beijing yang berkelanjutan dengan Moskow di tengah ketegangan geopolitik yang sedang berlangsung.