REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Industri kelapa sawit Indonesia semakin siap memasuki tahap hilirisasi dengan hasil riset yang siap dikomersialisasikan. Asosiasi Inventor Indonesia (AII) mengungkapkan bahwa dari 16 invensi hasil riset Program Grant Riset Sawit (GRS) 2021-2023 yang dievaluasi, lebih dari separuhnya telah mendapatkan komitmen dari industri dan siap melangkah ke tahap komersialisasi.
Dari jumlah tersebut, sembilan invensi telah mendapatkan Letter of Intent (LoI) atau surat kesepakatan sementara dengan calon investor, empat lainnya telah menandatangani Non-Disclosure Agreement (NDA) untuk perlindungan informasi teknologi, sementara dua lainnya sedang dalam proses finalisasi NDA.
Ketua Umum AII, Prof. Dr. Didiek Hadjar Goenadi, menjelaskan bahwa proses hilirisasi hasil riset tidak bisa berlangsung instan meskipun secara ekonomi sudah layak dikembangkan. "Proses komersialisasi hasil riset itu tidak semudah membalik telapak tangan. AII berperan sebagai jembatan antara inventor dan investor agar proses ini dapat berjalan dengan lancar," ujar Didiek.
Didiek mengungkapkan bahwa tantangan utama dalam hilirisasi bukan hanya kesiapan teknologi, tetapi juga meyakinkan investor mengenai potensi ekonomi dari hasil riset tersebut.
"Sebelum masuk ke pembahasan teknologi secara mendalam, perlu ada ikatan awal dengan investor. Teknologi ini adalah 'barang dagangan', sehingga diperlukan perjanjian Non-Disclosure Agreement (NDA) untuk menjaga kerahasiaan inovasi," paparnya.
Selain itu, regulasi lintas sektor yang belum sinkron juga menjadi kendala dalam percepatan hilirisasi. "Kami berharap pemerintah bisa lebih memperhatikan hambatan regulasi ini agar semakin banyak hasil riset anak bangsa yang dapat dimanfaatkan secara luas," kata Didiek.
Sejak 2019 hingga 2023, AII telah membantu mengantar 45 invensi hasil riset GRS menuju hilirisasi dengan mendapatkan komitmen dari industri. Meski begitu, menurut Didiek, tantangan tidak berhenti pada tahap komitmen. "Selanjutnya, proses produksi massal, ketersediaan bahan baku, hingga strategi pemasaran juga harus dipersiapkan dengan matang," tambahnya.
Direktur Penyaluran Dana BPDP, Mohammad Alfansyah, memastikan bahwa perubahan nomenklatur dari BPDPKS menjadi BPDP tidak akan mengganggu program riset yang telah berjalan. Justru, cakupan penelitian diperluas tidak hanya pada kelapa sawit, tetapi juga mencakup kelapa, kakao, dan karet.
"Mulai tahun ini, inventor dapat mengajukan proposal riset terkait kelapa, kakao, dan karet dengan pendanaan dari BPDP untuk hilirisasi. Namun, riset yang diajukan minimal sudah berada pada tingkat kesiapan teknologi (Technology Readiness Level - TRL) 7," ujar Alfansyah.
Direktur Industri Hasil Hutan dan Perkebunan, Ditjen Industri Agro, Kementerian Perindustrian, Lila Harsya Bakhtiar, menyatakan dukungannya terhadap hilirisasi hasil riset sawit. "Kelapa sawit telah menjadi penggerak utama ekonomi nasional. Saat ini, ada lebih dari 200 produk turunan sawit yang semuanya berasal dari riset," ujarnya.
Menurutnya, Indonesia telah mengalami transformasi besar dalam industri sawit. "Dulu, kita hanya mengenal Crude Palm Oil (CPO), tetapi kini lebih dari 93 persen ekspor sawit sudah dalam bentuk produk olahan," ungkapnya.
Kementerian Perindustrian, kata Lila, telah menyusun peta jalan (roadmap) hilirisasi industri berbasis minyak sawit dan biomassa sawit. "Kami akan terus mendorong agar inovasi berbasis kelapa sawit semakin berkembang dan memiliki daya saing global," tambahnya.