REPUBLIKA.CO.ID, TEL AVIV -- Media Israel melaporkan bahwa entitas Zionis itu akan kembali melancarkan agresi di Jalur Gaza dalam waktu 10 hari jika Hamas tidak terus melepaskan tahanan. Langkah ini meyalahi kesepakatan gencatan senjata yang dicapai Januari lalu.
Channel 12 menjelaskan bahwa "Israel ingin mencapai kesepahaman, namun telah menetapkan tenggat waktu untuk memajukan proses tersebut." Saluran tersebut mengutip seorang pejabat Israel yang mengatakan: "Saat ini kami menemui jalan buntu mengenai negosiasi kesepakatan." Sementara itu, Otoritas Penyiaran Israel mengutip sebuah sumber yang mengatakan bahwa dimulainya kembali pertempuran Israel di Gaza akan memakan waktu lama karena pergantian kepala staf.
Fase pertama perjanjian gencatan senjata dan pertukaran tahanan antara Gerakan Perlawanan Islam (Hamas) dan Israel, yang mulai berlaku pada 19 Januari, berakhir pada hari Sabtu. Namun, Israel menolak untuk melakukan perundingan tahap kedua, yang bertentangan dengan apa yang ditetapkan dalam perjanjian, dan menutup penyeberangan, mencegah masuknya bantuan ke Jalur Gaza, dan mengancam akan melanjutkan perang.
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengatakan dalam pidatonya di Knesset (parlemen) pada hari Senin bahwa Israel tidak bermaksud untuk melakukan negosiasi tahap kedua karena “jarak antara kami dan Hamas… tidak dapat dijembatani,” dan menambahkan: “Kami sedang mempersiapkan tahap selanjutnya dari perang di tujuh front.”
“Kami memberitahu Hamas bahwa jika Anda tidak melepaskan orang-orang kami yang diculik, akan ada konsekuensi yang tidak dapat Anda tanggung.” Netanyahu menegaskan kembali apa yang dia katakan sebagai usulan baru utusan AS untuk Timur Tengah Steve Witkoff untuk membebaskan semua tahanan Israel yang tersisa di Jalur Gaza dalam dua gelombang.
Perdana Menteri Israel juga memuji usulan Presiden AS Donald Trump untuk mengosongkan Gaza dari penduduknya sebagai hal yang “berani dan inovatif”. “Kita harus mendukungnya. Kami mendukungnya sepenuhnya,” katanya, menurut Times of Israel.
“Waktunya telah tiba untuk memberi mereka kebebasan untuk pergi. Waktunya telah tiba untuk memberi mereka kebebasan memilih.” Para aktivis hak asasi manusia mengatakan upaya untuk memaksa warga Palestina keluar dari Gaza mungkin merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Sementara itu, Hamas menuduh Netanyahu melanggar perjanjian tersebut, dan meminta para mediator dan penjamin untuk melindungi perjanjian tersebut dari keruntuhan dan memaksa pendudukan Israel untuk memulai tahap kedua, yang mengarah pada gencatan senjata permanen, penarikan semua pasukan Israel, dan rekonstruksi.
Juru bicara Sekjen PBB, Antonio Guterres Stephane Dujarric mengatakan pihaknya ingin semua pihak “melakukan segala yang mereka bisa” untuk memastikan perang di Gaza tidak berlanjut. Dujarric memperingatkan bahwa kembalinya pertempuran akan “memiliki konsekuensi bencana” bagi warga sipil serta tawanan Israel di Gaza.
“Kami ingin melihat para sandera dibebaskan. Kami ingin melihat dimulainya kembali bantuan kemanusiaan,” katanya kepada wartawan. Dujarric mengatakan Israel memblokir bantuan ke Gaza selama dua hari telah menyebabkan lonjakan besar harga komoditas pokok.

Dujarric mengatakan lembaga-lembaga yang bekerja di Gaza belum melaporkan bahwa Hamas mencuri bantuan kemanusiaan yang memasuki wilayah tersebut, seperti yang diklaim oleh Netanyahu. Perdana Menteri Israel mengatakan bahwa negaranya memblokir bantuan ke Gaza “karena Hamas mencuri pasokan dan mencegah masyarakat Gaza mendapatkan bantuan tersebut”. Namun Dujarric mengatakan kepada wartawan bahwa bantuan tersebut benar-benar menjangkau masyarakat.
“Tidak ada satupun yang dilaporkan di sini oleh rekan-rekan kami di lapangan. Kami telah melihat, sejak gencatan senjata, ada aliran bantuan yang lebih bebas dan langsung, dan kami belum melihat adanya penjarahan seperti yang kami lihat sebelum gencatan senjata.”