Selasa 04 Mar 2025 15:08 WIB

Industri Padat Karya 'Sekarat', Apindo Minta Kebijakan Pro-Industri Padat Karya

Apindo berharap agar pemerintah terus menjalin dialog terbuka dengan dunia usaha.

Rep: Frederikus Dominggus Bata / Red: Gita Amanda
Buruh dan karyawan mendengarkan pidato dari direksi perusahaan di Pabrik Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) di Sukoharjo, Jawa Tengah, Jumat (28/2/2025). Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Jawa Tengah mencatat 10.965 buruh dan karyawan di empat perusahaan terdampak Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) PT. Sritex Tbk setelah diputus pailit oleh Pengadilan Niaga.
Foto: ANTARA FOTO/Mohammad Ayudha
Buruh dan karyawan mendengarkan pidato dari direksi perusahaan di Pabrik Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) di Sukoharjo, Jawa Tengah, Jumat (28/2/2025). Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Jawa Tengah mencatat 10.965 buruh dan karyawan di empat perusahaan terdampak Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) PT. Sritex Tbk setelah diputus pailit oleh Pengadilan Niaga.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Shinta Kamdani merespon situasi ketenagakerjaan di Indonesia saat ini. Paling anyar, banyak terjadi pemutusan hubungan kerja di sejumlah perusahaan. 

Menurut Shinta, dinamika tersebut dipengaruhi oleh berbagai faktor. Dimulai dari yang sifatnya mikro, terkait kondisi internal keuangan perusahaan masing-masing. Kemudian faktor yang sifatnya makro termasuk kondisi ekonomi global, perubahan tren industri, kenaikan biaya produksi (bahan baku, tenaga kerja, dan lain-lain), kompetisi dengan produk impor, serta kebijakan ketenagakerjaan yang berlaku.

Baca Juga

"Dalam menanggapi dinamika ini, perlu dilakukan analisis secara komprehensif dan berbasis data dengan melihatnya secara case by case. Penting untuk memahami apakah dinamika ketenagakerjaan yang terjadi merupakan keputusan bisnis yang bersifat individual atau mencerminkan tantangan industri secara makro," kata pengusaha kelahiran Jakarta itu kepada Republika, Selasa (4/3/2025).

Ia melanjutkan, saat ini Apindo mencermati beberapa sektor industri menghadapi tekanan ekonomi yang signifikan. Hal itu berdampak pada keputusan bisnis yang sulit, termasuk pengurangan tenaga kerja. Sesuai dengan Outlook Ekonomi dan Bisnis 2025 Apindo, industri padat karya diprediksi masih akan menghadapi berbagai tantangan besar sepanjang tahun 2025. 

Salah satu isu fundamental yang harus dihadapi bersama adalah gejala deindustrialisasi dini. Keadaan demikian, ditandai dengan terus menurunnya kontribusi sektor manufaktur terhadap produk domestik bruto (PDB), dari 29 persen pada 2001 menjadi hanya 19 persen pada 2024. "Tren ini menunjukkan sektor industri, khususnya padat karya termasuk tekstil membutuhkan kebijakan yang lebih mendukung agar tetap mampu bersaing dan berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi nasional," ujar Shinta.

Ia melihat sejumlah tantangan yang dihadapi industri padat karya masih berkisar pada struktur biaya operasional yang tinggi. Itu seperti tingginya biaya logistik, kenaikan biaya produksi, kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) yang cukup signifikan, serta tekanan dari kompetitor di negara lain yang memiliki biaya tenaga kerja lebih rendah. Tak ketinggalan, pergantian regulasi ketenagakerjaan yang terlalu sering juga menciptakan ketidakpastian yang berdampak pada minat investasi di sektor ini.

"Oleh karena itu, Apindo terus berkoordinasi dengan pemangku kepentingan terkait guna mencari solusi terbaik bagi dunia usaha dan tenaga kerja, termasuk melalui peningkatan keterampilan baik itu upskilling maupun reskilling, serta kebijakan ketenagakerjaan yang mendukung peningkatan investasi pada sektor padat karya" kata Shinta. 

 
 
 
View this post on Instagram
 
 
 

A post shared by Republika Online (@republikaonline)

 

Pemerintah, tegas dia, perlu memastikan berjalannya reformasi struktural yang berfokus pada efisiensi biaya operasional, seperti penurunan biaya logistik, efisiensi rantai pasok, dan penyederhanaan regulasi yang sering kali menjadi hambatan bagi pelaku usaha. Dalam hal ini, Apindo berharap agar pemerintah terus menjalin dialog terbuka dengan dunia usaha untuk menyempurnakan kebijakan yang ada, sehingga mampu menciptakan ekosistem bisnis yang lebih sehat, berdaya saing, dan berkelanjutan. 

"Apindo juga senantiasa mendorong perusahaan untuk mengedepankan dialog sosial dengan para pekerja serta mengupayakan langkah-langkah yang mendukung keberlangsungan usaha dan perlindungan tenaga kerja," ujar Shinta, menutup pernyataannya.

Isu ketenagakerjaan yang paling menyedot perhatian, yakni seputar fakta lebih dari 10 ribu karyawan PT Sri Rejeki Isman Tbk atau Sritex terkena pemutusan hubungan kerja (PHK). Berdasarkan data Disnakertrans Jateng disesuaikan dengam informasi dari kurator, jumlah total PHK Sritex Group sebanyak 10.965 orang.

Perinciannya, PHK pada Januari 2025 di PT. Bitratex Semarang sebanyak 1.065 orang. Berikutnya PHK pada 26 Pebruari 2025 antara lain, di PT. Sritex Sukoharjo 8.504 orang, PT. Primayuda Boyolali 956 orang, PT Sinar Panja Jaya Semarang 40 orang, PT. Bitratex Semarang 104 orang. PHK Sinar Panja Jaya Agustus 2024 (sebelum pailit) haknya pekerja/pesangon belum diberikan sebanyak 300 orang.

Di beberapa kesempatan, Presiden Prabowo Subianto menekankan untuk meminimalisir potensi PHK. Namun situasi terkini, perlu dicarikan solusinya. Bukan hanya di tekstil, industri manufaktur juga terganggu. Banyak orang yang sebelumnya menekuni sektor tersebut, baru saja kehilangan pekerjaan.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini

Apa yang paling menarik bagi Anda tentang Singapura?

1 of 7
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement