Selasa 04 Mar 2025 15:23 WIB

Diduga Dipecat Sepihak, Perkumpulan Pendamping Desa Siap Menggugat ke PTUN

Pertepedesia merasa tidak diberi ruang klarifikasi yang cukup saat diberhentikan.

Sekjen Pertepedesia, Bahsian Micro berencana menggugat Kementerian Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal (Kemendesa PDT) ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Foto: Dok Pri
Sekjen Pertepedesia, Bahsian Micro berencana menggugat Kementerian Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal (Kemendesa PDT) ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Perkumpulan Pendamping Desa Indonesia (Pertepedesia) berencana menggugat Kementerian Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal (Kemendesa PDT) ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) terkait dugaan pemecatan sepihak ribuan tenaga pendamping profesional (TPP) desa di berbagai wilayah. Langkah ini diambil setelah Kemendesa PDT ngotot tidak melanjutkan kontrak para pendamping desa yang menggunakan hak politiknya dalam Pemilu 2024 lalu.

“Pertepedesia menilai Kemendes PDT tidak memberikan ruang klarifikasi cukup kepada anggota kami yang diberhentikan secara sepihak. Pertepedesia saat ini mengkaji secara serius membawa kasus ini ke jalur hukum, baik ke PTUN maupun menyiapkan pengaduan kepada Presiden Prabowo Subianto,” ujar Sekjen Pertepedesia, Bahsian Micro dalam keterangannya, Selasa (4/3/2025).

Baca Juga

Dia menjelaskan, kebijakan pemberhentian TPP yang didasarkan pada status mereka sebagai mantan calon anggota legislatif (caleg) telah menimbulkan ketidakadilan dan ketidakpastian bagi ratusan TPP di seluruh Indonesia. Menurutnya, kebijakan tersebut tidak memiliki dasar hukum kuat dan bertentangan dengan UU Nomor 6/2024 tentang Desa.

“Bahkan kebijakan penghentian kontrak TPP ini melanggar prinsip hak atas pekerjaan yang dijamin oleh UU Ketenagakerjaan. Penghentian ini akan memicu pengangguran baru yang tak perlu,” katanya.

Kebijakan penghentian TPP karena status mantan caleg, kata Bahsian, juga bersifat diskriminatif. Kebijakan ini menggenaralisasi jika semua TPP mantan caleg sebagai pihak yang berpotensi memiliki konflik kepentingan, tanpa mempertimbangkan integritas dan rekam jejak individu.

“Anggota Pertepedesia maju caleg tidak semata karena persoalan kekuasaan tetapi juga didorong keinginan untuk memperjuangkan desa mereka di ruang politik saat menjadi terpilih sebagai anggota legislatif,” katanya.

Bahsian menilai, penghentian massal TPP dapat menganggu program pembangunan desa yang sedang berjalan terutama di daerah tertinggal. Apalagi para pendamping desa yang dipecat adalah tenaga berpengalaman dengan masa kerja 4-8 tahun.

“Kebijakan Kemendes PDT ini mengancam pembangunan karena desa akan kehilangan tenaga pendamping yang berpengalaman melakukan advokasi baik dalam proses penyusunan, pengawasan, maupun evaluasi program pembangunan desa. Padahal berbagai program prioritas Presiden Prabowo seperti swasembada pangan bertumpu di kawasan perdesaan,” katanya.

Dari berbagai pertimbangan tersebut, kata Bahsian, Pertepedisia akan terus mendesak Kemendes PDT untuk mencabut kebijakan penghentian massal TPP karena status caleg. Pihaknya juga akan terus melakukan pendampingan hukum dan advokasi kepada para TPP yang terdampak kebijakan sepihak Kemendes PDT.

“Pertepedesia berkomitmen untuk terus memperjuangkan hak-hak TPP dan memastikan bahwa pembangunan desa dapat berjalan dengan adil dan berkelanjutan. Kami berharap langkah hukum ini dapat menjadi momentum untuk memperbaiki sistem dan kebijakan yang lebih berpihak pada kepentingan masyarakat desa,” ujar dia.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini

Apa yang paling menarik bagi Anda tentang Singapura?

1 of 7
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement