Kamis 06 Mar 2025 10:30 WIB

Sekjen MUI: Ibadah Puasa, Momentum Kesalehan Sosial

Mewujudkan kesalehan sosial butuh langkah konkrit.

Sekjen Majelis Ulama Indonesia (MUI) Amirsyah Tambunan menyampaikan sambutan saat acara penandatanganan MoU bersama Walikota Hebron Palestina yang digelar secara hybrid di Kantor MUI, Jakarta, Senin (29/11). Majelis Ulama Indonesia melakukan penandatanganan MoU kerjasama dengan Walikota Hebron Palestina untuk pembangunan Rumah Sakit Indonesia Hebron (RSIH) dengan biaya mencapai Rp87 miliar yang dihasilkan dari donasi sejumlah lembaga dan masyarakat Indonesia. Saat ini dana  yang sudah terkumpul untuk pembangunanan RSIH mencapai Rp24,7 miliar. Republika/Thoudy Badai
Foto: Republika/Thoudy Badai
Sekjen Majelis Ulama Indonesia (MUI) Amirsyah Tambunan menyampaikan sambutan saat acara penandatanganan MoU bersama Walikota Hebron Palestina yang digelar secara hybrid di Kantor MUI, Jakarta, Senin (29/11). Majelis Ulama Indonesia melakukan penandatanganan MoU kerjasama dengan Walikota Hebron Palestina untuk pembangunan Rumah Sakit Indonesia Hebron (RSIH) dengan biaya mencapai Rp87 miliar yang dihasilkan dari donasi sejumlah lembaga dan masyarakat Indonesia. Saat ini dana yang sudah terkumpul untuk pembangunanan RSIH mencapai Rp24,7 miliar. Republika/Thoudy Badai

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sekjen Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Amirsyah Tambunan memberi pandangannya terkait ibadah Ramadhan 2025. Ia mengatakan ibadah puasa pada hakekatnya melakukan banyak perubahan.

Pertama, mulai dari perubahan kebiasaan makan setiap waktu, kini berubah dari saat sebelum imsak’ hingga berbuka (ifthar). Kedua, menahan diri dari perkataan dan perbuatan yang dapat membatalkan ibadah puasa.

Ketiga, perubahan untuk bertaubat karena banyak dosa yang kita lakukan. "Di saat berpuasa di bulan Ramadhan dengan sungguh-sungguh, semoga dosa kita diampuni Allah SWT. Ala qulli hal, semua menghendaki perubahan diri, dari kesalehan pribadi kepada kesalehan sosial," kata Buya Amirsyah, dalam siaran pers yang diterima Republika.

Buya Amirsyah lalu menyoroti pentingnya kesalehan sosial. Ia tegaskan, manusia sebagai makhluk sosial membutuhkan hidup bermasyarakat untuk mewujudkan umat terbaik (khoiru umat). "Memang tidak mudah di tengah banyaknya penyakit sosial seperti korupsi yang seolah tiada henti. Negara ini terus mengalami musibah korupsi yang memprihatinkan."

Buya lalu bertanya, apakah di saat puasa atau pasca puasa korupsi akan berhenti?. Jawabnya ada pada kesalehan pribadi yang berakumulasi kepada kesalehan sosial. Untuk mewujudkan kesalehan sosial diperlukan langkah kongkrit; pertama, perubahan sistem yang dapat mencegah korupsi dari mulai niat hingga perilaku.

Hal ini mewajibkan adanya satu sistem yang terkoneksi pada semua lini kehidupan; kedua, sumber daya yang memiliki integritas dan kapasitas yang terbukti mampu menjalankan mesin birokrasi dengan bersih.

"Pertanyaannya apakah dengan sistem dan SDM yang seperti ini akan mampu mencegah dan menghentikan korupsi saat Ramadhan hingga pascasa Ramadhan?" tanya Buya, berintrospeksi.

"Jawabnya kembali kepada kesadaran kolektif untuk mewujudkan kesalehan sosial. Karena seorang yang soleh, namun karena sistemnya rusak, maka pribadi dan sosial akan rusa," kata dia lagi.

Oleh sebab itu, lanjut Buya Amirsyah, kembali kepada niat dan tekad rakyat Indonesia yang mayoritas beragama Islam. Karena tingkat kehidupan beragama menurut Geertz seperti melihat keberagamaan orang Jawa berkait dengan ketaatan dan ketidaktaatan dalam beragama.

Buya lalu mengutip Clifford Geertz, yang menurutnya melihat Islam Jawa lebih didasarkan pada konteks-konteks animisme, tradisi Hindu dan adat Jawa Kuno. Jadi mengubah tradisi beragama agar taat kepada Allah, bukan kepada hawa nafsu. Korupsi karena serakah, tamak, rakus harus di cegah lewat ibadah puasa.

Indonesia sebagia negara yang Berketuhanan yang Maha Esa, kata Buya, harus menjadi kekuatan spritual untuk membentuk pribadi taqwa tentu tidak sekali jadi. Maka setiap tahun berpuasa menurut ulama sebagai “olah jiwa” dan olah iman agar semakin baik, semakin bertaqwa.

“Saya ingin dan berkewajiban mengajak umat Islam Indonesia agar menggunakan momentum Ramadhan dengan moto: Indonesia Berpuasa, Mewujudkan Kesalehan pribadi kepada kesalehan Sosial," ujar Buya Amirsyah.

Karenanya menurut dirinya kita harus yakin ibadah puasa yang bisa membentuk diri menjadi insan yang bersih lahir batin seperti yang disampaikan oleh Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir. Puasa yang terintegrasi bukan hanya menahan diri dari makan minum dan pemenuhan kebutuhan biologis, tapi juga menjadikan diri menjadi orang yang punya kemampuan memelihara, merawat dan menjaga diri.

Selanjutnya Haedar Nashir mengatakan setiap tahun kita berpuasa tidak cukup hanya sebagai ritual individual semata, tetapi puasa harus memancarkan diri kita yang menjadi Uswah Khasanah (teladan yang baik) dalam kehidupan.

Tokoh teladan di Indonesia sebagai Pahlawan Nasional telah perupaya mewujudkan kesalehan pribadi menjadi kesalehan sosial di masa hidupnya sejati KH.Ahmad Dahlan pendiri Muhammadiyah; Buya Hamka Ketua Umum pertama MUI. Proklamator Kemerdekaan RI, Soekarno-Hatta, dll.

“Mereka tokoh-tokoh hebat yang patut kita lanjutkan kesalehan pribadinya kepada kesalehan sosial demi anak cucu kita dan demi kelangsungan bangsa. Oleh karena itu mari kita jadikan ibadah puasa Ramadhan sebagai muhasabah sekaligus momentum transformasi dari kesalehan pribadi kepada kesalehan sosial,” pungkas dia.

sumber : Rilis
BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini

Apa yang paling menarik bagi Anda tentang Singapura?

1 of 7
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement