REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Situasi yang menimpa PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) dan perusahaan sejenis lainnya, membuat perhatian tertuju pada masa depan industri tekstil Tanah Air. Secara khusus di PT Sritex, pihak kurator baru saja melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap lebih dari 10 ribu karyawan.
Perusahaan yang telah dinyatakan bangkrut secara hukum itu, sudah beroperasi nyaris 60 tahun. Sempat mengalami masa kejayaan di era orde baru, kini Sritex berpotensi tinggal sejarah. Meski, masih ada upaya kurator menarik investor untuk memakai mesin-mesin pabrik di sana.
Lantas apakah dengan Sritex dan berbagai perusahaan sejenis berhenti beroperasi, menjadi gambaran meredupnya industri tekstil? Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN), Luhut Binsar Pandjaitan merespons hal ini. Luhut menegaskan industri tekstil, produk tekstil (TPT) dan alas kaki tetap menjadi sektor strategis bagi ketahanan ekonomi dan sosial Indonesia.
Menurutnya, di tengah tantangan global dan kabar pemutusan hubungan kerja (PHK), sektor ini justru memiliki potensi besar untuk berkembang dan berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi nasional. Ia mendengar suara-suara bernada pesimistis. Banyak yang menganggap industri tekstil telah redup.
"Banyak yang pesimistis terhadap industri ini, menganggapnya sebagai industri sunset. Namun, kami di DEN melihatnya sebagai sektor strategis yang menyerap hampir 4 juta tenaga kerja, dengan pakaian jadi menyerap 2,9 juta di antaranya. Industri ini juga berperan penting dalam mendukung sektor usaha kecil dan mikro, terutama makanan dan minuman,” ujar Luhut dalam forum Retreat Kepala Daerah yang berlangsung di Magelang, Jawa Tengah tertulis dalam keterangan resmi DEN, dikutip Kamis (6/3/2024).
Dalam satu tahun terakhir, jelas dia, Indonesia telah menjadi target relokasi industri tekstil dan alas kaki. Itu didorong oleh perubahan global seperti perang dagang antara Amerika Serikat dan China, serta kejenuhan industri di Vietnam.
Hal ini tecermin dari meningkatnya Foreign Direct Investment (FDI) ke sektor TPT, yang pada 2024 mencapai 903 juta dolar AS. Angka itu naik 107 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) untuk sektor ini mencapai Rp 7 triliun.
Investasi ini menunjukkan dampak positif terhadap penciptaan lapangan kerja. Hasil kajian DEN mengungkapkan investasi sebesar 20-30 juta dolar AS di pabrik pakaian jadi dapat menyerap hingga 9.000 tenaga kerja.
Dalam pertemuan DEN dengan Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo) dan perwakilan global apparel seperti Adidas dan Nike beberapa waktu Lalu, terungkap, salah satu merek global akan meningkatkan ordernya di Indonesia hingga tiga kali lipat dalam tiga tahun ke depan. Jika terlaksanaa, keadaan demikian berpotensi menciptakan tambahan 100 ribu lapangan kerja.
Meski demikian, Luhut mengakui bahwa masih terdapat berbagai tantangan yang dihadapi investor di sektor ini, seperti masalah pembebasan lahan, perizinan amdal, dan kebijakan upah. Namun, ia optimistis bahwa dengan koordinasi yang baik, kendala-kendala tersebut dapat diselesaikan. Di sisi lain, perlindungan pasar dalam negeri dari impor ilegal juga menjadi perhatian utama.
"Kapasitas produksi berlebih di China akibat tarif AS telah mendorong mereka mengalihkan ekspor ke negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Ini perlu diwaspadai. Namun, jangan sampai kemudian impor bahan baku atau material yang dipakai untuk produksi juga malah ikut terhambat,” ujar Luhut.
View this post on Instagram