REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dalam mengisi bulan puasa, Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah kembali menggelar Pengkajian Ramadhan. Pada tahun 1446 H ini, acara yang digelar selama tiga hari penuh, yakni pada 6-8 Maret 2025, di kompleks kampus Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) itu bertema "Pengembangan Wasathiyah Islam Berkemajuan: Tinjauan Teologis, Ideologis, dan Praksis."
Tidak hanya dihadiri unsur PP Muhammadiyah dan ratusan representasi pimpinan wilayah Muhammadiyah (PWM), majelis, dan organisasi otonom dari seluruh Indonesia; kegiatan tersebut juga dibuka oleh sederet tokoh nasional. Termasuk di antaranya adalah para menteri yang memiliki profil keaktifan di Persyarikatan, seperti Mendikdasmen Prof Abdul Mu'ti, Menko Pangan Zulkifli Hasan, Mendikti Saintek Prof Brian Yuliarto, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN Nusron Wahid, Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni, serta Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono.
Dalam pidato pembukaan, Ketua Umum PP Muhammadiyah Prof Haedar Nashir menerangkan perihal akar historis wasathiyah Islam. Pengertian konsep ini sesungguhnya sudah muncul jauh sebelum istilahnya disebut-sebut dalam, antara lain, Deklarasi Bogor yang dipelopori Prof Din Syamsuddin pada 2018 atau Risalah Islam Berkemajuan yang merupakan keputusan Muktamar ke-48 Muhammadiyah pada 2022 lalu.
Sebab, sang pendiri Muhammadiyah, KH Ahmad Dahlan pun sudah mempraktikkan wasathiyah Islam. "Ketika Kiai Ahmad Dahlan meluruskan kiblat (Masjid Keraton Yogyakarta), itu menggunakan pendekatan syariat dan juga sains falak. Kiai Dahlan juga tetap menggelar pendidikan agama, seperti halnya pesantren, tetapi sambil mengadopsi sistem yang hidup di Barat. Maka lahirlah pendidikan Islam modern," jelas Haedar Nashir di Auditorium KH Ahmad Azhar Basyir, kompleks UMJ, Tangerang Selatan, Banten, Kamis (6/3/2025) sore.
Selama tiga bulan, KH Ahmad Dahlan hanya mengajarkan tafsir surah al-Maun kepada para santrinya, tanpa beranjak pada pembahasan surah-surah lain. Namun, hasilnya bukan hanya hafalan dan teori belaka.