REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mereka yang tidak menyelaraskan antara apa-apa yang diucapkan dengan yang dilakukannya sendiri merupakan golongan munafik. Penamaan itu berasal dari bahasa Arab, munaafiq, yang akarnya adalah nafiq. Artinya, ‘berpura-pura.’ Sejak zaman Nabi Muhammad SAW, kaum munafik tidak sungguh-sungguh percaya atau setia kepada ajaran Islam. Dalam hatinya, justru ada kebencian terhadap Alquran dan Sunnah.
Maka dari itu, seorang Mukmin hendaknya menyadari bahaya sifat munafik. Rasulullah SAW telah menunjukkan ciri-ciri pengidap karakteristik buruk tersebut. “Jika berbicara, selalu berdusta. Jika berjanji, selalu ingkar. Jika dipercaya, selalu berkhianat.”
Kejujuran
Dalam Al-Musnad, terdapat sebuah hadis Rasulullah SAW, “Sebuah pengkhianatan yang besar jika kamu berbicara dengan saudaramu (sesama Mukmin) dan ia percaya kepadamu (bahwa kamu tidak akan berdusta), sedangkan kamu justru berbohong kepadanya.” Dusta dalam perkataan bukanlah sesuatu yang remeh.
Abdullah bin Amir pernah bercerita, “Suatu ketika, Rasul SAW berkunjung ke rumah kami. Ketika itu aku masih kecil. Saat aku hendak keluar rumah untuk bermain, ibuku memanggilku, ‘Abdullah! sini ibu punya sesuatu untukmu.’ Mendengar itu, beliau bertanya, ‘Apa yang akan kamu berikan untuk anakmu?’ ‘Akan kuberi kurma,’ jawab ibuku. Lalu, Nabi SAW bersabda, ‘Jika tidak memberikan apa-apa kepada anakmu, kamu dicatat telah berbuat dusta.’”
Tunai janji
Orang Mukmin harus berhati-hati dalam berjanji. Sebab, janji tersebut mesti ditepati. Karena itu, Rasulullah SAW mengajarkan umatnya agar mengucapkan “insya Allah” jika hendak berjanji atau memberikan harapan.
Betapa banyak calon pemimpin yang menyampaikan janji-janji pada masa kampanye demi mendulang suara. Setelah mereka mendapatkan jabatan yang diidam-idamkan, realisasi janji itu jauh panggang dari api. Nasib rakyat pun dikhianati. Bahkan, yang lebih merisaukan adalah perilaku korupsi yang beriringan dengan ingkar itu.
View this post on Instagram