Jumat 07 Mar 2025 14:04 WIB

Keterlambatan Rilis APBNKita Memicu Kekhawatiran Publik 

Transparansi pemerintah mengenai kondisi keuangan negara saat ini dipertanyakan.

Rep: Eva Rianti/ Red: Gita Amanda
Kementerian Keuangan yang tak kunjung merilis APBNKita edisi Januari 2025. (ilustrasi)
Foto: Republika/Eva Rianti
Kementerian Keuangan yang tak kunjung merilis APBNKita edisi Januari 2025. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta Achmad Nur Hidayat mengkritisi Kementerian Keuangan yang tak kunjung merilis APBNKita edisi Januari 2025. Sehingga, transparansi pemerintah mengenai kondisi keuangan negara saat ini dipertanyakan. Kondisi itu menimbulkan kekhawatiran publik. 

“Fenomena ini menimbulkan banyak pertanyaan terkait kondisi keuangan negara, efektivitas kebijakan fiskal, serta dampaknya terhadap stabilitas ekonomi dan pasar keuangan,” kata Achmad dalam keterangannya, Jumat (7/3/2025). 

Baca Juga

Achmad mengatakan, dalam beberapa tahun terakhir, laporan APBNKita hampir selalu dirilis tepat waktu sebagai bentuk keterbukaan pemerintah dalam mengelola keuangan negara. Sedangkan memasuki tahun 2025 ini, rilisnya tidak jua dilaksanakan, sehingga muncul beberapa perspektif, diantaranya faktor kondisi penerimaan negara yang tidak sesuai target. 

“Dalam laporan APBN 2024, pendapatan negara dari sektor perpajakan dan non-pajak mengalami tekanan akibat perlambatan ekonomi global dan melemahnya harga komoditas ekspor utama Indonesia seperti batu bara dan minyak sawit. Jika penerimaan negara menurun secara signifikan, ini bisa menjadi alasan mengapa pemerintah menunda rilis data APBN,” ungkapnya.

Achmad menyebut, publikasi laporan yang menunjukkan penurunan pendapatan bisa berdampak pada sentimen negatif di pasar keuangan dan mengurangi kepercayaan investor. Investor, pelaku pasar, hingga lembaga keuangan internasional sangat bergantung pada data fiskal yang dipublikasikan pemerintah untuk menilai kondisi ekonomi suatu negara, sehingga transparansi sangat dibutuhkan.

“Jika laporan APBNKita terus tertunda, kepercayaan terhadap kredibilitas fiskal Indonesia bisa terganggu, yang pada akhirnya dapat memicu berbagai dampak negatif,” ujar dia. 

Salah satu dampak utama, kata Achmad, adalah meningkatnya volatilitas di pasar keuangan. Investor yang tidak mendapatkan kepastian mengenai kondisi fiskal negara cenderung bersikap lebih berhati-hati dalam menanamkan modalnya. 

“Hal ini bisa menyebabkan aliran modal keluar (capital outflow) yang berpotensi melemahkan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Dalam jangka panjang, melemahnya rupiah dapat meningkatkan biaya impor dan memperburuk defisit transaksi berjalan,” jelasnya. 

Selain itu, Achmad melanjutkan, penundaan rilis APBNKita juga dapat berpengaruh terhadap pasar obligasi. Sebab, penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) sangat bergantung pada persepsi investor terhadap kesehatan fiskal pemerintah. 

“Jika investor mulai meragukan kemampuan pemerintah dalam mengelola APBN, permintaan terhadap obligasi pemerintah bisa menurun, yang pada akhirnya meningkatkan yield (imbal hasil) obligasi. Peningkatan yield ini berpotensi menambah beban utang pemerintah, terutama dalam membiayai defisit anggaran,” terangnya. 

Achmad lantas menganalisis mengenai keterlambatan rilis APBNKita mengindikasikan masalah fiskal yang lebih besar. Ia menyebut, jika keterlambatan rilis APBNKita benar-benar disebabkan oleh kondisi penerimaan negara yang memburuk, maka Indonesia mungkin sedang menghadapi tantangan fiskal yang lebih serius dari yang diperkirakan. 

Pada 2024, realisasi penerimaan negara memang mengalami tekanan akibat kebijakan fiskal ekspansif yang bertujuan untuk menopang pertumbuhan ekonomi. Namun, dengan menurunnya harga komoditas utama, kebijakan ini bisa berisiko memperlebar defisit anggaran di luar target yang telah ditetapkan. Selain itu, belanja negara yang terus meningkat juga menjadi faktor yang perlu diperhitungkan. 

“Dengan pemilu yang baru saja berlangsung, kemungkinan adanya tekanan politik untuk meningkatkan belanja sosial dan infrastruktur cukup besar. Jika penerimaan negara tidak tumbuh sesuai ekspektasi, maka defisit APBN bisa semakin melebar, yang pada akhirnya memaksa pemerintah untuk meningkatkan utang atau mengurangi belanja yang bersifat produktif,” ujar dia. 

Timbul kekhawatiran 

Achmad mengatakan adanya kekhawatiran yang cukup serius karena Kementerian Keuangan tidak segera merilis APBNKita. Setidaknya ia mencatat ada empat kekhawatiran yang timbul. 

Pertama, kurangnya transparansi dapat memicu spekulasi negatif di pasar. Tanpa informasi yang jelas, berbagai rumor dan asumsi bisa berkembang, yang berpotensi memperburuk persepsi terhadap kondisi ekonomi Indonesia.

Kedua, kredibilitas pemerintah dalam mengelola keuangan negara bisa dipertanyakan. Indonesia selama ini dikenal sebagai negara yang memiliki manajemen fiskal yang cukup baik dibandingkan dengan negara berkembang lainnya. Namun, jika transparansi mulai dikorbankan, maka kredibilitas ini bisa tergerus dan berdampak negatif terhadap daya tarik investasi.

Ketiga, ketidakpastian dalam kebijakan fiskal dapat mengganggu perencanaan sektor swasta. Banyak perusahaan yang menjadikan data APBN sebagai acuan dalam menyusun strategi bisnis mereka, terutama yang berkaitan dengan investasi dan ekspansi. Jika data tersebut tidak tersedia, perusahaan diperkirakan akan bersikap lebih konservatif dalam pengambilan keputusan bisnis, yang pada akhirnya dapat menghambat pertumbuhan ekonomi.

Keempat, kepercayaan publik terhadap pemerintah bisa menurun. Masyarakat berhak mengetahui bagaimana uang negara dikelola, terutama dalam situasi ekonomi yang penuh tantangan. “Jika pemerintah tidak segera merilis laporan APBNKita, maka publik mungkin akan mulai mempertanyakan apakah ada sesuatu yang sedang disembunyikan,” kata Achmad.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini

Apa yang paling menarik bagi Anda tentang Singapura?

1 of 7
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement