REPUBLIKA.CO.ID, TANGERANG SELATAN -- Masa pandemi Covid-19 menjadi momen yang krusial bagi banyak usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) lokal, termasuk bagi bisnis Ari Hami, owner Maia by Hasya. Kendati demikian, keberjalanan bisnis di masa sulit rupanya bisa terselamatkan, karena ditopang oleh platform digital yang menjangkau pasar secara lebih luas melalui online.
Ari telah mengawali bisnisnya di bidang tekstil sejak awal 2000, alias seperempat abad yang silam. Mulanya ia berjualan di daerah asalnya, Bukittinggi, Sumatera Barat. Ada beragam produk yang ia jual, mulai dari gamis, kebaya, mukena, seprai pengantin, hingga gorden.
Lantas delapan tahun kemudian, bisnisnya berekspansi ke Jakarta. Tepatnya pada 2008, Ari membuka toko di Thamrin City, Jakarta Pusat dengan spesifikasi produk berupa mukena dan gamis. Ekspansi berlanjut dengan membuka sebuah toko di Pasar Tanah Abang, Jakarta Pusat pada 2010.
Bisnis pria berdarah Minang tersebut terbilang lancar jaya. Pasalnya, jumlah toko di Thamrin City yang mulanya hanya satu berkembang menjadi empat, dan toko di Pasar Tanah Abang yang hanya satu pun menjadi dua toko. Sehingga, total ia memiliki enam toko offline. Sedangkan tempat produksinya atau tempat konveksi berjumlah hingga lima titik.
Namun, memasuki 2020, usahanya mulai limbung. Terpaan pandemi Covid-19 membuat banyak UMKM berjatuhan. Ari memutar otak. Dengan besarnya usaha yang sudah ia geluti itu, sangat disayangkan jika ambruk begitu saja. Dari situlah dia mengenal platform digital.
“2020 Covid, toko otomatis tutup semua. Dari situlah kami kenal platform online,” kata Ari saat ditemui di salah satu rumah produksinya di kawasan Pondok Aren, Tangerang Selatan, Rabu (5/3/2025).
Ari memanfaatkan sejumlah platform digital yang tersedia. Beriringan dengan itu, ia melakukan perekrutan sumber daya manusia (SDM) yang berkompeten di bidang digital marketing, dengan memanfaatkan tabungan yang ada untuk menggaji karyawan.
“Kami hire beberapa orang yang mengerti digital marketing. Lalu makin ke sini bikin tim untuk konten, dan makin bisa pakai fitur-fitur. Sehingga antara online dan offline (persentasenya) menjadi 30:70,” ujar dia.
Menurut penuturan Ari, kondisi Covid-19 memang memaksa ia yang telah nyaman berjualan offline untuk mau ‘melek’ memanfaatkan peluang berjualan secara digital. Dan kenyataannya, digital telah membantu usahanya terus jalan dan berkelanjutan.
“Sebelumnya kan offline semua, kalau enggak karena Covid, saya enggak ngerti apa digital marketing,” ungkapnya.
Setelah turut terjun di online, Ari mengaku banyak belajar, terutama mengenai algoritma yang terus berkembang dan berubah. Ia terus mengembangkan toko online-nya dengan strategi yang ia kembangkan sendiri, misalnya mendiversifikasikan produk.
“Kami berusaha meningkatkan dari sisi mutu dan desain. Saya ada beberapa produk yang di online dijual, tetapi di offline enggak dijual,” ungkapnya.
Ari bercerita bahwa setiap bulan ia –dibantu sang istri- merilis desain baru. Saat desain baru launching secara offline, menurut penuturannya, desain baru tersebut bakal cepat ditiru atau di-copy oleh kompetitor. Sedangkan jika di-launching di online, langkah peniruannya akan lebih lama. Sebagai perbandingan, peniruan desain baru di offline bisa hanya sekitar satu bulan, sedangkan peniruan desain baru di online bisa sampai dua tahunan. Strategi itu ia jalankan hingga saat ini.
“Itu tujuannya adalah supaya enggak merusak harga, profit-nya jadi bagus. Kalau harga rusak, profit enggak maksimal, sementara cost tetap akan meningkat,” tuturnya.
Lihat postingan ini di Instagram