REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Lima tahun lalu, dunia sedang menghadapi pandemi Covid-19 yang mengubah hampir seluruh aspek kehidupan, termasuk cara konsumen muslim berinteraksi, berbelanja, mengonsumsi, dan menjalankan ibadah.
Digitalisasi yang meningkat pesat akibat keterbatasan mobilitas membuat umat Islam semakin akrab dengan teknologi. Di saat yang sama, kesadaran spiritual juga meningkat, konsumen Muslim menjadi lebih empatik dan universal.
Dalam situasi yang penuh ketidakpastian, maqashid syariah muncul sebagai solusi yang relevan untuk menjawab tantangan perubahan perilaku konsumen muslim. Namun situasi yang ada saat ini telah berubah.
Pandemi perlahan berlalu dan dunia memasuki era baru dengan dinamika berbeda. Perilaku konsumen Muslim mengalami pergeseran signifikan, dipicu oleh beberapa disrupsi besar.
Pertama, disrupsi digital yang semakin dipercepat oleh perkembangan Teknologi 4.0 seperti artificial intelligence, big data, blockchain, dan internet of things.
Di sisi lain, muncul juga disrupsi sosial dan politik, seperti gerakan pemboikotan produk-produk yang dianggap mendukung Israel maupun LGBT+.
Hal ini menunjukkan konsumen Muslim tidak hanya peduli pada aspek halal maupun digital, tetapi juga pada nilai-nilai etika dan moral yang sejalan dengan prinsip-prinsip Islam.
Fenomena ethical consumerism semakin menguat di kalangan Muslim. Mereka tidak lagi hanya melihat kehalalan dari sisi hukum Islam semata, tetapi juga mempertimbangkan aspek keberlanjutan (sustainability), dampak sosial, dan kesejahteraan umat.
Situasi inilah yang melandasi munculnya pergeseran perilaku konsumen Muslim yang oleh Yuswohady, Managing Partner Inventure dinamakan Muslim 5.0 sebagai transformasi dari era Muslim 4.0 yang terjadi saat pandemi.
“Digitalisasi yang masif saat pandemi memunculkan tren Muslim 4.0. Pascapandemi, kita memasuki era Muslim 5.0 di mana konsumen Muslim melihat hukum Islam bukanlah semata aturan kaku, tapi memiliki tujuan utama (maqashid) untuk meningkatkan kualitas hidup manusia dan kemaslahatan umat,’’ ujarnya dalam Indonesia Muslim Market Outlook (IMMO) 2025.
Prinsip maqashid ini dipraktikkan secara adaptif mengikuti perkembangan zaman untuk mewujudkan Islam sebagai rahmatan lil alamin.
Konsumen Muslim 5.0 melihat konsumsi sebagai bagian dari lima pilar maqashid syariah yaitu menjaga agama, jiwa, akal, harta, dan generasi mendatang. Ini dipraktikkan untuk mewujudkan kemaslahatan bagi umat manusia, baik di dunia maupun di akhirat.
Muslim 5.0 terinsipirasi dari Transformasi Society 5.0 yang digagas di Jepang. Konsep ini menekankan pada penggunaan teknologi untuk menciptakan masyarakat yang lebih humanis dan etis, yang sejalan dengan nilai nilai Islam.
“Dalam konteks ini, konsumen Muslim tidak hanya dilihat sebagai pasar tetapi juga sebagai bagian dari masyarakat global yang memiliki tanggung jawab moral dan sosial.” tambah Yuswohady dalam keterangan yang dikutip Senin (10/3/2025).
Irvan Nugraha, CEO Rumah Zakat mengamini hal ini. “Konsumen Muslim semakin sadar dengan produk halal dan semakin peduli dengan isu global seperti Palestina, yang tecermin dalam fenomena pemboikotan produk-produk yang dianggap pro-Israel,” ungkapnya.
Irvan menambahkan, kini konsumen Muslim tak hanya peduli pada manfaat teknis produk, tapi mulai melihat konsumsi bagian dari kepedulian atas isu-isu holistik seperti persoalan kemanusiaan, keadilan dan ketimpangan sosial, hingga kesejahteraan umat.
*