REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Sebagai pengelola dana haji, Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) memegang teguh amanah umat dengan menjalankan prinsip aman, transparan, akuntabel, dan sesuai syariah. Dengan strategi investasi yang hati-hati dan inovasi berkelanjutan, BPKH mengubah titipan jamaah haji ini menjadi mesin kebaikan yang berkontribusi pada pembangunan nasional dan kemaslahatan umat.
Anggota Badan Pelaksana Bidang Investasi Surat Berharga dan Emas BPKH, Indra Gunawan mengungkapkan berbagai inovasi dan dedikasi BPKH dalam pengelolaan dana haji. Diantaranya, inovasi rekening virtual yang merupkan bentuk keadilan bagi 5,5 juta calon jamaah yang masih dalam antrean.
Sejak 2018, total penyaluran dana bagi jamaah yang masih menunggu mulai Rp 800 miliar di 2018, kini sudah terakumulasi hingga Rp18,3 triliun pada 2025.
“Saldo setoran awal jamaah yang semula Rp 25 juta kini tumbuh menjadi sekitar Rp 28 juta, membuktikan bahwa BPKH terus berupaya menghadirkan manfaat bagi seluruh calon haji, baik yang sudah berangkat maupun yang masih menunggu,” ujar Indra dalam keterangannya di Jakarta, Senin (10/3/2025).
Dengan tingkat pengembalian investasi dari 5,45 persen pada 2018 menjadi 6,9 persen di akhir 2024 lalu, BPKH juga telah memberikan kontribusi signifikan terhadap jemaah berangkat dan jamaah haji tunggu.
Selain itu, menurut dia, Dana Abadi Umat (DAU) senilai Rp 3.86 triliun yang bisa dijadikan modal/ekuitas/saham yang dikelola BPKH, hasil pengelolaannya juga telah digunakan untuk berbagai program kemaslahatan, seperti bantuan bencana, pendidikan, kesehatan, dan pengentasan kemiskinan. Hal ini menjadi bukti nyata bahwa pengelolaan keuangan syariah dapat memberikan manfaat luas bagi umat dan negara.
Dalam menghadapi kenaikan biaya haji akibat inflasi dan fluktuasi kurs, BPKH terus berkontribusi meringankan beban jamaah. Pada 2022, BPKH menanggung 59 persen Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH), setara dengan Rp 57,7 juta per jamaah.
Pada 2024, kontribusi ini mencapai 40 persen (Rp 37,3 juta) dari total BPIH sebesar Rp 93,4 juta. Lalu pada 2025, BPKH masih menanggung 38 persen (Rp 33,8 juta) dari total BPIH Rp 89,4 juta.
Namun, di samping inovasi yang terlah dilakukan, BPKH masih menjumpai tantangan besar. Berdasarkan Undang-Undang No 34/2014, BPKH beroperasi tanpa modal awal, saham, ekuitas, atau cadangan kerugian dari laba bersih, berbeda dengan aturan pada perseroan terbatas yang wajib menyisihkan 20 persen laba untuk cadangan.
Karena itu, menurut Indra, revisi undang-undang diperlukan agar BPKH dapat mengalokasikan “dana cadangan” misalnya dari Dana Abadi Umat, yang kini dana kelolaannya telah mencapai Rp 3.86 triliun.
Sementara itu, Kepala Badan Pelaksana BPKH Fadlul Imansyah mengatakan, untuk menjaga keberlanjutan manfaat bagi umat, maka Undang-Undang Keuangan Haji sangat krusial untuk direvisi.
“Dengan penguatan regulasi, BPKH dapat memastikan pengelolaan dana haji yang lebih aman, adil, dan berkelanjutan bagi seluruh umat Islam di Indonesia,” ujar Fadlul.