REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ramadhan adalah bulan penuh keberkahan, ampunan, dan kebaikan. Karena itu, umat Islam harus bisa melawan segala bentuk hawa nafsu, lapar, dan dahaga, untuk bisa meraih keutamaan bulan Ramadhan. Salah satunya dengan menjauhkan diri dari segala macam bentuk kekerasan seperti persekusi dan lain sebagainya.
Ironisnya, masih ada saja kasus-kasus persekusi yang dilakukan umat Islam, khususnya di Bulan Ramadhan ini. Seperti yang terjadi di Garut beberapa waktu lalu.
Menanggapi hal ini, Budayawan, dan akademisi dari Universitas Nadhlatul Ulama Indonesia, Ngatawi Al-Zastrouw, mengungkapkan keprihatinannya atas tindakan persekusi yang dilakukan sekelompok orang pada bulan Ramadan di sebuah warung kopi di Garut, Jawa Barat.
Ngatawi mengatakan arogansi yang ditunjukkan oleh sekelompok orang tersebut tidaklah mencerminkan akhlak umat Islam, melainkan menunjukkan ketidakdewasaan seseorang dalam bergama yang dapat mendegradasi nilai nilai keislaman itu sendiri.
“Itu tidak mencerminkan akhlak dan ajaran Islam. Itu lebih mencerminkan pada sikap emosi sikap berlebihan dalam mengekspresikan keagamaan,” ucap Ngatawi di Jakarta, Rabu (12/3/2025).
Menurut Ngatawi Islam merupakan agama yang penuh dengan kasih sayang. Dalam menyerukan dakwah atau menasehati orang lain, ada etika dan tingkatannya, tidak serta langsung melakukan persekusi atau menista.
“Pertama diingatkan secara lisan, baik baik secara beradab, secara sopan, tidak langsung serta merta arogan,” kata Ngatawi.
Kepala Makara Art Center Universitas Indonesia ini mengatakan akhlakul karimah, akhlak yang terpuji adalah esensi dari Islam. Akhlak menjadi yang hal utama dalam mengekspresikan agama. Ngatawi berpendapat bersyariat pun harus berlandaskan dengan ahklak, kalau tidak itu akan menjadi kontra produktif.
“Kalau tidak mau ya sudah, toh dosa dan neraka mereka tanggung sendiri. Tugas kita adalah mengingatkan dan menyampaikan," katanya.
Ngatawi menambahkan, tidak ada paksaan untuk masuk ke dalam Islam atau mengamalkan apa yang sudah digariskan dalam Islam. Seperti penggalan ayat dalam Surat Al Baqarah ayat 256, La ikraha fiddin, qad tabayyanarrusydu minal ghay yang artinya tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam).
Semua ibadah dilakukan secara ikhlas, sukarela, dan semampunya, mengingat kondisi seseorang tidaklah sama. Ada yang memiliki kekurangan, maupun ada yang mendapatkan keringanan (rukhsah) karena suatu kondisi, misalnya orang dalam perjalanan, ibu hamil atau orang yang sedang sakit.
“Kalau shalat tidak bisa berdiri, bisa dengan duduk. Kalau tidak bisa duduk, bisa terlentang. Puasa juga begitu, bisa dilakukan (diganti) dilain hari jika memang tidak memungkinkan," katanya.
Doktor sosiologi lulusan Universitas Indonesia ini mengatakan fenomena ini muncul di akhir tahun 90-an, di mana muncul pergerakan Islam simbolik, Islam yang mengedepankan simbol simbol teks formal dengan mengabaikan akhlak dan moral. Hal inilah yang harus diantisipasi, karena sikap ini bisa memunculkan benih benih radikalisme yang berpotensi untuk melakukan aksi terorisme.
"Akar radikalisme, sikap seperti arogan, sombong, intoleran ini, merasa paling benar, paling soleh dan merasa memiliki otoritas untuk menegakkan kebenaran sesuai versi mereka, ini yang harus diwaspadai," kata Ngatawi.