Kamis 13 Mar 2025 14:10 WIB

Pemerintah Kembali ke Investasi Pengolahan Bahan Bakar Fosil, Ekonom Indef: Sudah Mendesak

Abra menilai Indonesia semestinya lebih banyak mengolah minyak mentah dalam negeri.

Rep: Frederikus Dominggus Bata/ Red: Ahmad Fikri Noor
Pekerja Pertamina memeriksa fasilitas produksi di unit Kilang Langit Biru Cilacap (KLBC) yang dikelola PT Kilang Pertamina Internasional Unit Cilacap, Jawa Tengah, Jumat (25/10/2024).
Foto: Republika/Prayogi
Pekerja Pertamina memeriksa fasilitas produksi di unit Kilang Langit Biru Cilacap (KLBC) yang dikelola PT Kilang Pertamina Internasional Unit Cilacap, Jawa Tengah, Jumat (25/10/2024).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Center of Food, Energy, and Sustainable Development Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Abra Tallatov mendukung rencana pemerintah membangun fasilitas pengolahan minyak (refinery) berkapasitas 1 juta barel per hari (BPH). Abra menilai Indonesia sudah semestinya lebih banyak mengolah minyak mentah dalam negeri, demi mengurangi ketergantungan terhadap impor bahan bakar minyak (BBM) jadi atau produk kilang.

Pihak Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) juga menyuarakan hal serupa. Bahkan target kapasitas kilang yang akan dibangun, ditingkatkan. Dari awalnya 500 ribu BPH, kini menjadi dua kali lipatnya.

Baca Juga

"Jadi pada prinsipnya, saya sepakat dengan upaya pemerintah membangun kilang. Memang sudah mendesak kebutuhan untuk mengolah minyak mentah di dalam negeri," kata Abra, kepada Republika, dikutip Kamis (13/3/2025).

Meski demikian, ia tidak asal mendukung. Sebagai peneliti, ia memiliki beberapa catatan untuk disampaikan. Pertama, sebetulnya dari segi proyek kilang, saat ini sebetulnya urgensi pemerintah adalah membantu penyelesaian pembangunan, atau revitalisasi kilang milik Pertamina yang sudah ada.

Baik itu pembangunan kilang baru yang sedang berjalan (Grass Root Refinery/GRR)), atau peningkatan kapasitas kilang eksisting (Refinery Development Master Plan/RDMP). Beberapa masih dalam progres penyelesaian. Pemerintah harus memastikan proyek tersebut, diselesaikan sesuai target.

Berikutnya, Abra meminta pemerintah memberikan penjelasan detail, perihal kilang jumbo yang akan dibangun itu. Apakah kilang ini masuk perencanaan baru, atau termasuk dalam proyek strategis nasional. "Nah, misalkan itu kilang baru, 1 juta (BPH) ini kan apakah nanti tidak menimbulkan menimbulkan overlap dengan kilang yang sudah ada? Jadi harus ada sinkronisasi juga dengan progres pembangunan kilang yang ada saat ini, dan kilang eksisting," ujar peneliti Indef itu.

Kemudian, Abra juga bertanya pihak mana yang akan mengoperasikan pembangunan kilang baru itu. Apakah akan diserahkan ke Pertamina atau dibentuk konsorsium baru untuk mengurusinya. Ini menjadi catatan yang ia suarakan dari sisi fisik perencanaan mega proyek tersebut.

Selanjutnya, perihal manfaatnya. Seperti yang sudah ia tegaskan, pada prinsipnya dirinya setuju dengan proyek ini dalam konteks demi mengurangi ketergantungan terhadap impor BBM. Namun, menurutnya, pembangunan kilang saja tidak cukup untuk tujuan itu.

Pemerintah juga harus fokus mengoptimalkan produksi lifting migas di hulu. Konkrertnya, dibutuhkan investasi besar untuk target peningkatan lifting. Ia berpendapat, dalam satu dekade terakhir, baik itu investasi maupun produksi, bahkan penemuan cadangan baru, relatif stagnan.

"Itu juga harus didorong, karena nanti, akan menimbulkan persoalan, ketika kilangnya sudah jadi, tetapi bahan bakunya masih mengandalkan bahan baku, atau minyak mentah impor," ujar Abra.

Ia berharap pemerintah sudah mengevaluasi apa saja kendala atau tantangan pembangunan kilang, yang selama ini dihadapi Pertamina. Menurutnya jika dirincikan, tak jauh-jauh dari pendanaan, teknologi, dan proses mencari mitra. Tak kalah pentingnya, harus melihat aspek sustainability dari bahan baku kilang nanti.

Artinya, ada kesesuaian dari minyak mentahnya terhadap kilang tersebut. Ia khawatir di kemudian hari muncul persoalan. Misalnya ketika fasilitasnya sudah jadi, tetapi hanya mengolah jenis crude tertentu saja.

"Dan tentunya, diharapkan produk yang dihasilkan adalah produk dengan kualitas emisi rendah atau baik, euro 5 ke atas. Arahnya ingin mengurangi emisi dari BBM ini," tutur Abra.

Pemerintah juga berkomitmen mendorong pengembangan Dimethyl Ether (DME) sebagai olahan gas dari batubara untuk menggantikan liquefied petroleum gas (LPG). Abra juga mendukung jika konteksnya demi substitusi impor LPG. Namun ia mendorong pemerintah membuat indikator yang lebih spesifik tentang adanya target mengurangi importasi LPG.

"Jadi jangan sampai pembangunan DME digenjot, kemudian impor LPG masih tinggi."

Abra menilai, kebijakan yang konsisten antara pembangunan DME dan pengurangan importasi LPG. Ia turut menyinggung investasi DME. Indef pernah mengkajinya.

Menurutnya, tantangan pembangunan DME ini yakni investasinya cukup besar. Pun demikian dengan resikonya. Sehingga harga keekonomian DME ini, ia prediksi akan lebih mahal dibandingkan impor LPG.

"Sehingga sepertinya, nanti pemerintah membuka peluanag untuk memberikan insentif dalam mendukung pelaksanaan DME tadi," ujar Abra.

Insentifnya, lanjut dia, bisa berupa harga domestic market obligation (DMO) untuk proyek DME. Juga insentif pengurangan atau pembebesan pajak tertentu, khususnya pajak pertambahan nilai (PPN) dalam proyek DME.

Abra kemudian menyinggung dampak positif dari proyek DME ini. Dengan diserapnya batubara domestik, bisa mendorong kenaikan harga komoditas tersebut. Makanya perlu ada harga khusus, yaitu harga DMO batubara untuk proyek DME ini.

"Seperti halnya dengan harga DMO untuk proyek PLTU gitu kan. Selebihnya untuk ekspor nanti menggunakan harga pasar ataupun harga HBA yang diatur ke pemerintah," tuturnya.

DME ini merupakan batubara berkalori rendah. Abra melihat dengan adanya proyek tersebut membantu penyerapan batubara dengan kadar kalori rendah itu. Terpenting, pemerintah juga harus membatasi produksinya. "Jangan sampai adanya kebijakan DME ini, membuka ruang untuk aktivitas pertambangan batubara yang semakin eksploitatif."

Dikutip dari laman resmi Kementerian ESDM, karakteristik DME memiliki kesamaan, baik sifat kimia maupun fisika, dengan LPG. Lantaran mirip, DME dapat menggunakan infrastruktur LPG yang ada sekarang, seperti tabung, storage dan handling eksisting.

Kelebihan lainnya, DME bisa diproduksi dari berbagai sumber energi, termasuk bahan yang dapat diperbarui. Itu antara lain biomassa, limbah dan Coal Bed Methane (CBM). Namun saat ini, batu bara kalori rendah dinilai sebagai bahan baku yang paling ideal untuk pengembangan DME.

DME memiliki kandungan panas (calorific value) sebesar 7.749 Kcal/Kg, sementara kandungan panas LPG senilai 12.076 Kcal/Kg. Kendati begitu, DME memiliki massa jenis yang lebih tinggi sehingga kalau dalam perbandingan kalori antara DME dengan LPG sekitar 1 berbanding 1,6.

Pemilihan DME untuk subtitusi sumber energi juga mempertimbangkan dampak lingkungan. DME dinilai mudah terurai di udara sehingga tidak merusak ozon dan meminimalisir gas rumah kaca hingga 20 persen. "Kalau LPG per tahun menghasilkan emisi 930 kg CO2, nanti dengan DME hitungannya akan berkurang menjadi 745 kg CO2. Ini nilai-nilai yang sangat baik sejalan dengan upaya-upaya global menekan emisi gas rumah kaca," tutur Dadan Kusdinana, saat masih menjadi Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan ESDM.

Di samping itu, kualitas nyala api yang dihasilkan DME lebih biru dan stabil, tidak menghasilkan particulate matter (pm) dan NOx, serta tidak mengandung sulfur. DME merupakan senyawa eter paling sederhana mengandung oksigen dengan rumus kimia CH3OCH3 yang berwujud gas sehingga proses pembakarannya berlangsung lebih cepat dibandingkan LPG. 

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...

Apa yang paling menarik bagi Anda tentang Singapura?

1 of 7
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement