Rabu 26 Mar 2025 15:58 WIB

Ramadhan Disebut Sebagai Madrasah Pembentuk Pribadi Wasathiyah

Islam adalah agama inklusif yang merangkul keberagaman dan menghargai perbedaan.

Puasa Ramadhan (ilustrasi). Menjalankan puasa tidak hanya soal mempersiapkan mental dan spiritual, tetapi juga menjaga kesehatan tubuh
Foto: www.freepik.com
Puasa Ramadhan (ilustrasi). Menjalankan puasa tidak hanya soal mempersiapkan mental dan spiritual, tetapi juga menjaga kesehatan tubuh

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pada bulan Ramadhan 1466 Hijriyah umat Islam diajak untuk terus meningkatkan ketakwaan, kesabaran, dan kebijakan, dalam menghadapi persoalan duniawi. Ramadhan harus dijadikan madarasah untuk membentuk pribadi Muslim yang wasathiyah.

Menurut Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof Andi Faisal Bakti, Ramadhan tidak hanya sebagai momentum untuk meningkatkan kualitas ibadah pribadi, tetapi juga sebagai kesempatan untuk membangun empati dan membentuk hubungan yang lebih baik dengan sesama Muslim, maupun dengan umat agama lain. Dengan demikian, Ramadhan bukan lagi persoalan pada menahan lapar dan dahaga saja, namun menciptakan insan kamil yang menghormati perbedaan.

“Seharusnya umat Islam di bulan Ramadhan ini lebih toleran, lebih berempati sehingga bisa meredam ketegangan. Tentu bukan hanya kepada umat Muslim, tapi juga kepada agama lainnya,” ucap Prof Andi di Jakarta, Rabu (26/3/2025).

Menurut Direktur Center for Information and Development Studies (CIDES) Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI) ini, Islam adalah agama yang inklusif, merangkul keberagaman dan menghargai perbedaan. Dalam Surat Al Baqarah ayat 143, diungkapkan umat Islam adalah umat yang wasathiyah, moderat berada di tengah. Menurutnya, Islam adalah agama menjunjung tinggi prinsip keadilan, dan merangkul semua umat manusia tanpa membeda-bedakan latar belakang.

Ia menambahkan, konsep wasathiyah ini bisa digambarkan dengan analogi permainan bola. Dalam permainan bola dibutuhkan wasit yang netral di antara kedua belah pihak. Wasit tidak boleh berpihak kepada salah satu pemain atau kelompok. Jika ia berpihak, permainan tidak akan menarik, dan menimbulkan kekacauan. Sama halnya dengan beragama, umat tidak boleh terlalu ekstem yang menimbulkan keresahan, dan tidak juga bersikap acuh.

“Begitu juga dengan Islam, yang berada di tengah-tengah dalam hal keyakinan dan hukum," ungkapnya.

Sebagai umat yang meyakini bahwa setiap mahkluk adalah cipataan Allah Swt, Prof Andi menambahkan, maka sejatinya umat harus saling mengasihi antar sesama makhluk, tidak memandang perbedaan suku, ras dan agama. Tidak boleh merasa paling benar, menghakimi atau mempersekusi orang yang berbeda keyakinan.

“Islam sangat terbuka, sangat moderat, Islam itu justru merangkul dan merangkum kepercayaan agama lain," katanya.

Maka dari itu, Prof Andi mengingatkan agar madrasah Ramadan ini menjadi momentum peningkatan kualitas diri, tidak hanya meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah Swt, namun juga meningkatkan kualitas kesalehan sosial antar umat beragama. Sehingga dalam perayaan hari raya Idul Fitri, dapat merayakannya dengan hati yang suci dan bersih.

“Setelah berpuasa selama sebulan, umat Islam akan kembali kepada kesucian. Oleh karena itu, jangan lagi menebar benci, hate speech terhadap sesama,” kata Prof Andi.

Sosok yang juga menjadi UNESCO Chair in Communication and Sustainable Development (COSDEV) ini berharap, momen Ramadan ini menjadi refleksi diri untuk saling memaafkan dan menghargai antar umat beragama.

“Ini adalah momentum yang sangat luar biasa untuk saling bersolidaritas dengan sesama manusia, bukan hanya sesama umat Islam tapi juga kepada penganut penganut agama lainnya," katanya.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini

Apa yang paling menarik bagi Anda tentang Singapura?

1 of 7
Advertisement

Komentar

Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement