REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Senyawa Polychlorinated Biphenyls (PCBs) merupakan salah satu jenis senyawa pencemar organik yang persisten (Persistent Organics Pollutant/POPs) yang ditargetkan untuk phase-out pada tahun 2028 mendatang. Senyawa ini banyak ditemukan pada industri yang menggunakan trafo Listrik.
Kementerian Lingkungan Hidup (KLH)/Badan Pengendalian LIngkungan Hidup (BPLH) terus menggaungkan “Indonesia Bebas PCBs Tahun 2028) melalui berbagai kegiatan sosialisasi dan peningkatan kapasitas, baik daring maupun luring, kepada masyarakat, khususnya dunia industri, untuk membangun kesadaran terhadap bahaya PCBs bagi Kesehatan dan lingkungan hidup.
Demikian disampaikan Direktur Pengelolaan B3 KLHBPLH, DR. Ir. Haruki Agustina, M.Sc disela-sela kegiatan Technical Meeting bertema Enhancing Understanding of PCBs Management in Preparation for PCB Project Phase 2 di Jakarta, hari Rabu (16/4/2025) kemarin.
Kegiatan technical meeting kali ini ditujukan khusus bagi para ASN di lingkungan Direktorat Pengelolaan B3 KLH/BPLH. Harapannya, melalui forum ini dapat mengedukasi dan meningkatkan pemahaman para ASN yang nantinya akan terjun langsung ke lapangan saat kegiatan penghapusan PCBs dilaksanakan.
"Harapan saya, melalui forum ini bisa memperkaya dan mengedukasi seluruh peserta yang hadir. sehingga kita punya persepsi yang sama tentang apa itu PCBs, bagaimana kebijakannya, bagaimana pengelolaannya, termasuk regulasinya," ujar Haruki.
Disinggung mengenai target penghapusan PCBs dari bumi Nusantara pada tahun 2028, Direktur Pengelolaan B3 menyampaikan optimismenya, sebab saat ini, pasca pelaksanaan PCB Project Phase 1 yang berakhir tahun2023 lalu, Indonesia di mata dunia telah dinilai cukup berhasil dalam pengelolaan PCBs, karena memiliki regulasi yang mengatur tentang pengelolaan PCBs, data hasil inventori, serta fasilitas pengelolaan PCBs di dalam negeri.
Menambahkan penjelasan Haruki, salahsatu narasumber yang merupakan pakar PCBs Management Expert Rio Deswandi menyebutkan dalam melihat PCBs, hal yang dilakukan terlebih dahulu adalah inventarisasi. "Dari inventarisasi ini akan mencatat sumber-sumber PCBs base on form yang di provide oleh UNEP (United Nation Enviroment Program). Nanti Kementerian bisa melihat yang suspect PCBs, prosesnya nanti baru uji visual kemudian (diperoleh) mana yang harus GC-ECD (diuji laboratorium). Dari situ baru kita punya data yang lengkap dan identifikasi yang tepat serta rekomendasi lebih lanjutnya," bebernya.
Di tempat yang sama, Direktur Technical dan SHEQ PT Prasadha Pamunah Limbah Industri (PPLI) sebagai perusahaan pengelolaan limbah terintegrasi di Indonesia menyatakan siap menampung dan mengolah limbah PCBs dari industri. "Kalau dari project PCBs ini, sejak 2021 ada sekitar 120 sampai 130 ton limbah PCBs yang sudah diterima atau dikelola PPLI," ungkapnya.
Jumlah tersebut, lanjut Elpido dihasilkan dari kurang lebih 10 perusahaan. "Biasanya limbah kita jemput. Karena memang sebagai penghasil mereka tidak punya armada untuk mengangkut. Jadi, kita memberikan jasa juga untuk pengangkutan limbah ini dari klien sampai ke PPLI," imbuhnya.
Bicara kapasitas dan fasilitas Elpido mengungkapkan saat ini satu hari PPLI mampu mengolah sekitar 10 ton.
Dalam kesempatan tersebut Elpido juga menjelaskan bahaya limbah PCBs sendiri, Pertama, bagi manusia bisa menyebabkan kanker atau yang sifatnya karsinogenik. "Kedua dampak bagi lingkungan hidup karena ini tidak terurai di lingkungan berarti bertahan cukup lama sehingga dampaknya sangat mungkin sampai ke manusia dan makhluk hidup lainnya.
Secara progres dan tahapan yang sudah berjalan, PPLI yakin Pemerintah dalam hal ini KLH atau DLH, kemudian perusahaan-perusahaan sendiri, sepertinya berprogres. "Insya Allah kita bisa mencapai target ini (bebas PCBs) di 2028. Apalagi ke depan rencananya pemerintah akan memasukkan PCBs ini sebagai salah satu penilaian kriteria di proper. Sehingga kita harapkan gaungnya makin luas dan makin banyak industri yang paham tentang PCBs serta bagaimana mengelolanya," tutupnya.