Sabtu 26 Apr 2025 19:37 WIB

Mengenal Sang Pembesar Para Tabiin

Perannya dalam membimbing umat kian terasa sesudah satu per satu sahabat Nabi wafat.

ilustrasi ulama
Foto: republika
ilustrasi ulama

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dari generasi tabiin, terdapat seorang alim yang fenomenal. Dialah Said bin al-Musayyib.

Ia hidup dalam zaman tiga khalifah di era Khulafaur rasyidin, yakni Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib. Dari ketiganya, ia pun mendapatkan banyak hadis Nabi SAW. Lebih lanjut, dirinya pun menerima banyak keterangan tentang sunnah dari sahabat Rasul yang akhirnya menjadi mertuanya, yakni Abu Hurairah.

Baca Juga

Imam Syafii memandang hadis-hadis mursal yang berasal dari Ibnu al-Musayyib sebagai hadis hasan. Bahkan, tidak sedikit pakar fikih dari abad ketiga Hijriyah menilai semua hadis yang diriwayatkan oleh ulama tersebut sahih adanya. Imam Hambali menegaskan, “Kalaulah riwayat Said dari Umar bin Khattab tidak diterima, siapa lagi yang dapat diterima?”

Ibnu al-Musayyib merasakan langsung penerapan syariat pada masa Khalifah Umar. Tidak hanya itu, ia pun mencermati dan menghafalkan kebijakan-kebijakan al-Faruq yang berkaitan dengan urusan umat dan agama. Karena itu, ulama dari kelompok tabiin tersebut kerap dijuluki sebagai Periwayat Umar atau Rawiyatul ‘Umar.

 
 
 
View this post on Instagram
 
 
 

A post shared by Republika Online (@republikaonline)

Sejak menapaki usia baligh, Ibnu al-Musayyib telah bertekad untuk menjadi pembelajar ilmu-ilmu agama. Ia berguru kepada banyak sahabat Nabi SAW. Beberapa di antaranya ialah Sa’ad bin Abi Waqqash, Ibnu Abbas, dan Ibnu Umar. Di samping itu, dirinya juga menimba ilmu dari para istri Rasul SAW, seperti Sayyidah ‘Aisyah dan Ummu Salamah. Guru-gurunya yang lain ialah Ali bin Abi Thalib, Utsman bin Affan, Abu Dzar al-Ghifari, Zaid bin Tsabit, Shuhaib, Muhammad bin Maslamah, dan Abu Hurairah.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
قَالَ يٰقَوْمِ اَرَءَيْتُمْ اِنْ كُنْتُ عَلٰى بَيِّنَةٍ مِّنْ رَّبِّيْ وَرَزَقَنِيْ مِنْهُ رِزْقًا حَسَنًا وَّمَآ اُرِيْدُ اَنْ اُخَالِفَكُمْ اِلٰى مَآ اَنْهٰىكُمْ عَنْهُ ۗاِنْ اُرِيْدُ اِلَّا الْاِصْلَاحَ مَا اسْتَطَعْتُۗ وَمَا تَوْفِيْقِيْٓ اِلَّا بِاللّٰهِ ۗعَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَاِلَيْهِ اُنِيْبُ
Dia (Syuaib) berkata, “Wahai kaumku! Terangkan padaku jika aku mempunyai bukti yang nyata dari Tuhanku dan aku dianugerahi-Nya rezeki yang baik (pantaskah aku menyalahi perintah-Nya)? Aku tidak bermaksud menyalahi kamu terhadap apa yang aku larang darinya. Aku hanya bermaksud (mendatangkan) perbaikan selama aku masih sanggup. Dan petunjuk yang aku ikuti hanya dari Allah. Kepada-Nya aku bertawakal dan kepada-Nya (pula) aku kembali.

(QS. Hud ayat 88)

Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement