Kamis 08 May 2025 10:09 WIB

Studi Harvard: Orang Indonesia Paling Tentram Hidupnya

Studi juga menemukan korelasi antara beribadah dengan kebahagiaan.

Jamaah berswafoto seusai melaksanakan Sholat Idul fitri di Masjid Istiqlal, Jakarta, Senin (31/3/2025). Faktor rajin beribadah disebut  berkorelasi dengan kebahagiaan.
Foto: Republika/Thoudy Badai
Jamaah berswafoto seusai melaksanakan Sholat Idul fitri di Masjid Istiqlal, Jakarta, Senin (31/3/2025). Faktor rajin beribadah disebut berkorelasi dengan kebahagiaan.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Berbagai survei soal kebahagiaan hidup kerap menempatkan negara-negara Skandinavia dan negara maju pada urutan teratas. Namun, penelitian terbaru yang diklaim lebih menyeluruh justru mendudukkan Indonesia pada posisi teratas terkait ketenteraman hidup.

Kesimpulan itu dicapai survei Global Flourishing Study (GFS) yang dilansir dan lolos peninjauan rekanan pada 30 April lalu. Ini adalah studi penelitian longitudinal yang dilakukan melalui kolaborasi antara para peneliti di Human Flourishing Program Universitas Harvard dan Institut Studi Agama Baylor, bekerja sama dengan Gallup dan Center for Open Science.

Baca Juga

Dari gabungan indikator dalam studi itu, Indonesia memuncaki indeks perkembangan (flourishing index) tanpa menghitung indikator finansial. Indonesia mencatat skor 8,47 poin; mengungguli Meksiko (8,29 poin); dan Filipina (8,11 poin).

Bahkan jika indikator finansial dimasukkan, Indonesia tetap jadi yang tertinggi memeroleh indeks perkembangan dengan 8,10 poin disusul Israel, Filipina, dan Meksiko. Meksiko dan Filipina disebut masuk di papan atas karena masyarakatnya melaporkan adanya ikatan kekeluargaan yang kuat, kehidupan spiritual dan dukungan masyarakat.

“Indonesia sedang bertumbuh (flourishing). Orang-orang di sana mendapat nilai tinggi dalam banyak bidang, termasuk makna, tujuan, hubungan, dan karakter. Indonesia merupakan salah satu negara dengan skor tertinggi pada sebagian besar indikator dalam keseluruhan studi,” kesimpulan studi itu menurut para penelitinya dilansir Science Alert pekan lalu.

photo
Indeks Perkembangan Global - (Science Alert, CC-BY)

Jepang dan Turki melaporkan skor yang lebih rendah. Jepang memiliki perekonomian yang kuat, namun masyarakat di sana melaporkan tingkat kebahagiaan yang lebih rendah dan hubungan sosial yang lebih lemah. Jam kerja yang panjang dan stres mungkin menjadi salah satu penyebabnya. Di Turki, tantangan politik dan keuangan mungkin merusak rasa percaya dan keamanan masyarakat.

Salah satu dampak yang mengejutkan adalah negara-negara kaya, termasuk Amerika Serikat dan Swedia, tidak berkembang sebaik negara-negara lain. Mereka memiliki kinerja yang baik dalam hal stabilitas finansial, namun skornya lebih rendah dalam hal makna dan hubungan. Memiliki lebih banyak uang tidak selalu berarti kehidupan seseorang menjadi lebih baik.

Faktanya, negara-negara dengan pendapatan lebih tinggi seringkali melaporkan tingkat makna dan tujuan yang lebih rendah. Sementara itu, negara-negara dengan tingkat kesuburan yang lebih tinggi seringkali melaporkan kehidupan yang lebih bermakna. Temuan ini menunjukkan bahwa mungkin ada trade-off. Kemajuan ekonomi mungkin memperbaiki beberapa hal namun melemahkan hal-hal lain.

"Flourishing" dalam bahasa Indonesia bisa berarti berkembang pesat, makmur, atau mencapai keadaan yang optimal. Ini mengacu pada keadaan di mana seseorang atau sesuatu mencapai pertumbuhan, kesejahteraan, dan ketenteraman. Kata itu juga mencakup fungsi psikologis, sosial, dan emosional yang positif, serta kemampuan mengatur diri sendiri. 

photo
Negara-negara dalam studi Global Flourishing Study - (Science Alert, CC-BY)

Studi tersebut menunjukkan bahwa kekayaan bukanlah satu-satunya kunci menuju kebahagiaan dan kesejahteraan. “Peringkat negara-negara ini tak seperti yang kami antisipasi,” kata Tyler VanderWeele, salah satu penulis studi dan peneliti di Universitas Harvard di Amerika Serikat, dalam konferensi pers dilansir Euro News. “Meskipun negara-negara maju dan kaya melaporkan hal-hal seperti keamanan finansial dan evaluasi kehidupan lebih tinggi… mereka tidak melaporkan hal-hal yang lebih tinggi dalam hal makna, hubungan, dan karakter prososial,” tambahnya.

Temuan ini tampaknya bertentangan dengan Laporan Kebahagiaan Dunia tahunan; Negara-negara Eropa cenderung mendominasi slot teratas. Swedia, misalnya, berada di urutan keempat dalam laporan kebahagiaan namun berada di peringkat tengah dalam analisis pertumbuhan baru, antara Amerika Serikat dan Afrika Selatan. 

VanderWeele mengatakan hal ini mungkin terjadi karena laporan pertumbuhan lebih komprehensif, sedangkan studi kebahagiaan didasarkan pada bagaimana orang mengevaluasi kehidupan mereka. “Jika Anda mempertimbangkan aspek-aspek kesejahteraan lainnya, daftarnya akan terlihat berbeda,” katanya. Para peneliti mencatat bahwa sulit untuk membandingkan negara-negara secara langsung dalam survei karena perbedaan bahasa dan budaya yang mempengaruhi cara masyarakat merespons kuesioner.

Merujuk laman resmi Universitas Harvard, studi ini melibatkan pengumpulan data untuk sekitar 200.000 peserta, dari 22 negara yang berbeda secara geografis dan budaya. dengan sampel yang mewakili secara nasional di setiap negara, dan dengan pengumpulan data tahunan pada panel individu yang sama untuk lima gelombang data. 

Survei mencakup serangkaian pertanyaan mengenai kesejahteraan serta pertanyaan demografi, sosial, ekonomi, politik, agama, kepribadian, masa kanak-kanak, komunitas, kesehatan, dan karakter. Panel mencakup individu-individu dari Argentina, Australia, Brasil, China (Hong Kong), Mesir, Jerman, India, India, Israel, Jepang, Kenya, Meksiko, Nigeria, Filipina, Polandia, Turki, Afrika Selatan, Spanyol, Swedia, Tanzania, Inggris, dan Amerika Serikat. 

Negara-negara ini dipilih melalui konsultasi dengan Gallup untuk memaksimalkan cakupan populasi dunia, untuk memastikan keragaman geografis, budaya, dan agama, dan dengan mempertimbangkan infrastruktur dan kelayakan pengumpulan data yang ada.

photo
Korelasi ibadah dengan perkembangan hidup dalam studi Global Flourishing Study - (Science Alert (CC-BY))

Studi ini melihat enam dimensi kehidupan yang berkembang. Yang pertama adalah soal kebahagiaan dan kepuasan hidup yakni bagaimana orang merasa puas dan puas dengan hidup mereka. Kemudian soal kesehatan fisik dan mental atau bagaimana perasaan orang sehat, baik tubuh maupun pikiran.

Selanjutnya soal arti dan tujuan hidup yang menengok apakah orang merasa hidupnya penting dan bergerak ke arah yang jelas. Faktor lain yang dihitung adalah karakter dan kebajikan, bagaimana orang bertindak untuk memajukan kebaikan, bahkan dalam situasi sulit. Lalu hubungan sosial yang erat, seberapa puas seseorang terhadap persahabatan dan ikatan keluarga mereka. Sementara stabilitas finansial dan material ditanyakan paling akhir. Indikator ini menanyakan apakah masyarakat merasa aman akan kebutuhan dasarnya, termasuk makanan, perumahan, dan uang.

Studi itu juga menyimpulkan bahwa orang-orang yang menghadiri ibadah keagamaan seminggu sekali atau lebih biasanya melaporkan skor yang lebih tinggi dalam semua bidang perkembangan. Khususnya soal kebahagiaan, makna, dan hubungan. Temuan ini berlaku di hampir setiap negara, bahkan negara yang sangat sekuler seperti Swedia.

Tampaknya komunitas keagamaan menawarkan apa yang oleh para psikolog agama disebut sebagai empat B: rasa memiliki (belonging), dalam bentuk dukungan sosial; rasa kesatuan (bonding), berupa hubungan spiritual; berperilaku (behaving), dalam penanaman budi pekerti dan kebajikan melalui praktik dan norma yang diajarkan dalam umat beragama; dan percaya (believing), dalam bentuk merangkul harapan, pengampunan dan keyakinan spiritual bersama.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement