REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah mencatat total penerbitan Green Sukuk Indonesia hingga 2024 telah mencapai 9,59 miliar dolar AS. Angka ini mencakup Global Green Sukuk sebesar 6 miliar dolar AS, Retail Green Sukuk sebesar 2,08 miliar dolar AS (Rp 30,68 triliun), dan Project Based Green Sukuk sebesar 1,51 miliar dolar AS (Rp 22,22 triliun).
Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Penerimaan Negara Bukan Pajak, Mochamad Agus Rofiudin, menyebut bahwa penerbitan Green Sukuk menjadi bukti nilai-nilai Islam dan keberlanjutan dapat berjalan beriringan.
“Green Sukuk dan Cash Waqf Linked Sukuk menjadi inovasi penting yang memungkinkan partisipasi masyarakat dalam membiayai pembangunan nasional melalui instrumen yang ramah lingkungan dan berbasis syariah,” kata Agus dalam forum Islamic Finance Dialogue yang diselenggarakan Republika, Senin (26/5/2025).
Indonesia menjadi negara pertama di dunia yang menerbitkan Green Sukuk pada 2018. Instrumen ini selalu disusun berdasarkan Green Bond Principle dan SDGs Framework. Agus menjelaskan, terdapat empat komponen utama dalam penerbitan Green Sukuk, yakni penyediaan green framework, identifikasi proyek hijau, penggunaan dana yang eksklusif, serta penyusunan green impact report tahunan.
“Dampak nyata dari Green Sukuk tidak hanya terlihat pada sisi fiskal, tetapi juga pada pembangunan dan lingkungan,” ucapnya.
Penurunan emisi tercatat mencapai 2.317 ton CO₂ pada 2021 dan 1.884 ton CO₂ pada 2022. Proyek perkeretaapian berkontribusi menurunkan emisi hingga 2,77 juta ton CO₂, sementara konversi kendaraan ke listrik menyumbang penurunan 129,53 ton CO₂.
“Green Sukuk adalah alat strategis untuk menciptakan manfaat sosial dan ekologis, mulai dari pengurangan polusi, penghematan energi, hingga pengembangan transportasi publik yang efisien dan rendah emisi,” kata Agus.
Selain pemerintah, masyarakat juga aktif berkontribusi. Program Lumbung Pangan BAZNAS, Sedekah Pohon, hingga Kebun Wakaf Produktif menjadi contoh inisiatif akar rumput berbasis syariah yang berorientasi pada keberlanjutan.
“Semua ini menunjukkan masyarakat Indonesia adaptif dan inovatif dalam menjawab tantangan berkelanjutan melalui pendekatan syariah,” ujar Agus.
Agus menekankan perlunya sinergi seluruh potensi dalam ekosistem keuangan syariah nasional. “Di sinilah pentingnya peran pemerintah sebagai fasilitator, regulator, sekaligus katalisator perubahan,” ucapnya.
Ekonomi syariah telah ditetapkan sebagai bagian strategis dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025–2045. Dalam UU Nomor 59 Tahun 2024, penguatan regulasi, kelembagaan, digitalisasi, dan SDM ekonomi syariah menjadi prioritas. Sebagai implementasi, pemerintah bersama KNEKS telah menyusun Masterplan Ekonomi Syariah Indonesia 2025–2029 yang memuat lima pilar utama: industri produk halal, keuangan syariah, dana sosial syariah, ekonomi digital syariah, serta SDM dan riset.
Agus menyoroti dua pilar utama terkait keberlanjutan. Pertama, penguatan sektor keuangan syariah melalui Green Sukuk dan Sustainable Sukuk. Kedua, optimalisasi dana sosial seperti zakat, infak, sedekah, dan wakaf sebagai modal sosial untuk pendidikan, ketahanan pangan, dan perlindungan sosial.
“Masterplan ini bukan sekadar dokumen perencanaan, tetapi manifestasi komitmen nasional untuk memastikan prinsip-prinsip syariah berjalan seiring dengan nilai-nilai keberlanjutan global,” pungkas Agus.