Selasa 27 May 2025 05:34 WIB

Pernikahan Dini Jadi Musuh Indonesia Emas, Psikolog: Risikonya Gangguan Kesehatan Mental

Pemerintah berkomitmen menekan angka pernikahan dini.

Ilustrasi Pernikahan Dini
Foto: Pixabay
Ilustrasi Pernikahan Dini

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah berkomitmen menyiapkan diri menuju Indonesia Emas yang diperkirakan terjadi pada 2045. Ini merupakan bonus demografi yang hanya terjadi sekali dalam sebuah siklus peradaban. 

Bonus demografi ditandai dengan dominasi mayoritas penduduk oleh generasi produktif, yaitu usia belasan hingga usia 60-70 tahun. Mereka menjadi pengambil keputusan dan aktor utama pembangunan peradaban.

Baca Juga

Untuk mempersiapkan bonus demografi yang disebut sebagai Indonesia Emas itu, pemerintah melakukan berbagai kerja strategis, salah satunya mempersiapkan SDM unggul dengan gizi yang mencukupi melalui program makan bergizi gratis (MBG). Kemudian juga ada program pendidikan wajib 13 tahun, dan sekolah rakyat. Juga masih ada sejumlah program yang digeber untuk mempercepat SDM unggul.

Namun ada satu musuh berbahaya Indonesia Emas, yaitu pernikahan dini. Tidak main-main, dampak pernikahan dini dapat mengakibatkan pelakunya mengalami gangguan mental.

Psikolog klinis Phoebe Ramadina menyampaikan bahwa pernikahan pada usia dini berisiko memicu gangguan kesehatan mental.

"Risiko gangguan kesehatan mental seperti depresi, kecemasan, dan stres berat, terutama ketika disertai dengan dinamika relasi yang tidak sehat, kekerasan dalam rumah tangga, kesulitan ekonomi, dan kehamilan yang tidak direncanakan," kata psikolog lulusan Universitas Indonesia itu ketika dihubungi dari Jakarta, Senin.

Psikolog yang berpraktik di lembaga konsultasi psikologi Personal Growth itu mengatakan bahwa pernikahan dini juga merampas hak anak untuk tumbuh dan berkembang secara optimal.

Menurut dia, kewajiban dalam pernikahan sering kali menghambat anak dalam menjalani fase perkembangan yang sesuai dengan usianya, seperti melanjutkan pendidikan, membangun identitas diri, dan mengembangkan potensi secara utuh.

"Hal itu berdampak jangka panjang terhadap kesejahteraan psikososial anak dan berisiko memperkuat siklus ketidaksetaraan dalam keluarga dan masyarakat," katanya.

 

sumber : Antara
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
وَقَالَ الَّذِى اشْتَرٰىهُ مِنْ مِّصْرَ لِامْرَاَتِهٖٓ اَكْرِمِيْ مَثْوٰىهُ عَسٰىٓ اَنْ يَّنْفَعَنَآ اَوْ نَتَّخِذَهٗ وَلَدًا ۗوَكَذٰلِكَ مَكَّنَّا لِيُوْسُفَ فِى الْاَرْضِۖ وَلِنُعَلِّمَهٗ مِنْ تَأْوِيْلِ الْاَحَادِيْثِۗ وَاللّٰهُ غَالِبٌ عَلٰٓى اَمْرِهٖ وَلٰكِنَّ اَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُوْنَ
Dan orang dari Mesir yang membelinya berkata kepada istrinya,” Berikanlah kepadanya tempat (dan layanan) yang baik, mudah-mudahan dia bermanfaat bagi kita atau kita pungut dia sebagai anak.” Dan demikianlah Kami memberikan kedudukan yang baik kepada Yusuf di negeri (Mesir), dan agar Kami ajarkan kepadanya takwil mimpi. Dan Allah berkuasa terhadap urusan-Nya, tetapi kebanyakan manusia tidak mengerti.

(QS. Yusuf ayat 21)

Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement