Ahad 29 Jun 2025 07:36 WIB

Ekonom Kritik Pajak E-Commerce: Perusahaan Global Masih Bebas Pajak

Skema PPh 22 menuai kritik karena tak menyentuh keuntungan digital perusahaan asing.

Rep: Eva Rianti/ Red: Gita Amanda
Rencana kebijakan pemerintah memungut pajak pedagang e-commerce dengan skema baru menuai kritik dari ekonom. (ilustrasi)
Foto: Republika/Thoudy Badai
Rencana kebijakan pemerintah memungut pajak pedagang e-commerce dengan skema baru menuai kritik dari ekonom. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Rencana kebijakan pemerintah memungut pajak pedagang e-commerce dengan skema baru menuai kritik dari ekonom. Kebijakan tersebut dinilai menunjukkan ketidakadilan fiskal. Indonesia dinilai perlu belajar dari kebijakan pajak digital yang diterapkan Kanada.

Pemerintah Indonesia diketahui berencana memberlakukan PPh Pasal 22 untuk pedagang e-commerce, sehingga marketplace akan ditunjuk sebagai pemungut pajak atas transaksi pedagang yang beromzet di atas Rp 500 juta per tahun. Kebijakan tersebut bukan pajak baru, melainkan perubahan skema pelaporan pajak dari mandiri menjadi pemungutan otomatis di sumber transaksi.

Baca Juga

Seperti halnya pedagang pasar tradisional yang membayar retribusi pasar, pedagang digital kini dikenakan pungutan langsung oleh pengelola platform.

“Tujuannya jelas, menyederhanakan administrasi, meningkatkan kepatuhan, serta menutup celah shadow economy yang selama ini lolos dari radar fiskus. Namun, pertanyaannya, mengapa hanya marketplace lokal yang disasar? Bukankah revenue digital Indonesia sebagian besar dinikmati oleh raksasa global seperti Google, Meta, Apple, Amazon, dan Netflix?” kata Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, dalam keterangannya, Sabtu (28/6/2025).

Achmad mengatakan, keadilan fiskal pada dasarnya menuntut kontribusi seimbang dari semua pelaku ekonomi digital tanpa memandang batas negara. Menurut dia, hingga hari ini Indonesia masih kesulitan menarik pajak secara adil dari aktivitas ekonomi digital. Hal ini tercermin dari pemerintah yang lebih memilih menargetkan pedagang di marketplace lokal dibandingkan perusahaan teknologi global.

“Masalahnya sederhana tetapi kompleks: bagaimana memajaki aktivitas ekonomi yang tak mengenal batas negara tanpa menimbulkan retaliasi dagang dan beban administrasi yang melumpuhkan pertumbuhan digital,” ujarnya.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement